Assalamu’alakum
Wr. Wb. Ustadz Farid Nu’man Hasan, semoga Allaah Ta’ala senantiasa
menjaga Ustadz sekeluarga.
Kemarin
ana baru saja ikut Mukhayam Kepanduan. Dalam salah satu sesi acara tersebut ada
seorang Ustadz Pemateri yang mengatakan -kurang lebih seperti ini, soalnya ana
agak lupa: “Perang itu adalah tipu daya.” Beliau melanjutkan “Jadi kalau kita
menganggap Pemilu sebagai perang, jangan jujur-jujur amat.” Lalu dipaparkan
tentang sirah Nabi Saw pernah mengotori sumur musuh dan disisakan satu sumur
yang bersih sebagai taktik perang. Juga dalam perang boleh membunuh musuh.
Terus
terang sampai titik ini, ana agak terganggu, maksudnya apa?
Lalu
beliau menjabarkan. Jadi kalau Pemilu kita anggap sebagai perang maka tidak
mengapa melakukan Money Politic agar rakyat memilih kita. Pihak lain
saja melakukan Money Politic, lalu kenapa kita tidak melakukan hal yang
sama? Sedangkan tujuan dakwah kita jelas, agar bisa melakukan perbaikan dan
menegakkan Islam ketika berhasil menjabat sedangkan mereka ketika sudah
menjabat malah melakukan korupsi misalnya supaya balik modal. Untuk mendukung
ucapannya, beliau menganalogikan dengan adanya ajaran Islam yang memberikan
Ghanimah kepada Muallaf agar hatinya teguh pada Islam.
Beliau
juga sempat merinci kasus per kasus ketika Money Politic itu diper
bolehkan, yaitu kenyataan bahwa masyarakat di daerah saya tinggal sekarang
memang ‘kurang berpendidikan’ dan ‘matre’ walaupun tidak semuanya/ mayoritas
tapi ada yang seperti itu. Pada saat Pilgub beberapa waktu yang lalu, di TPS
itu ada orang yang mondar-mandir (tidak segera bergegas mencoblos) dengan
harapan ada pasangan yang memberinya uang. Ada juga keluarga yang tidak
mencoblos karena tidak ada yang memberinya uang pedahal di keluarga itu ada 6
suara. Maka pada kondisi seperti itu, kita tidak mengapa memberi uang supaya
memilih kita!
Selanjutnya,
beliau sempat berkata bahwa tidak semua money politic itu haram.
Contohnya, ketika ada si Fulan yang telah lulus ujian CPNS tapi namanya akan
dicoret sebagai CPNS kalau tidak memberikan uang, maka hal ini boleh karena
tidak ada hak orang yang kita rebut dengan cara kotor, kita hanya
memperjuangkan hak kita. Tentu kasusnya berbeda kalau kita tidak lulus CPNS
lalu membayar supaya jadi PNS.
Beliau
mengakhiri dengan kebersediaanya beliau kalau ingin diskusi atau bertabayun
terhadap uraiannya. Namun ana belum sempat tabayun ke beliau. Sementara itu
yang ana tangkap, walaupun mungkin ada informasi dan pemahaman yang tidak utuh.
Ana mohon penjelasannya Ustadz. Jazakumullah Khairan Katsiran. (Abu
Hafuza)
Jawaban:
Wa
‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah
wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa
ashhabihi wa man waalah, wa ba’d.
Kepada
Abu Hafuza yang dirahmati Allah Ta’ala, Semoga antum tetap istiqamah,
berdiri bersama orang-orang yang benar, baik pagi dan sorenya, atau malam dan
siangnya, walau semakin sedikit orang-orang yang berani menampakkan kebenaran.
Kemudian,
semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua, khususnya
kepada “Sang Ustadz” dalam acara mukhayam kepanduan yang antum ikuti. Agar yang
haq adalah haq lalu kita selalu bersamanya. Dan yang batil adalah batil dan
kita selalu menjadi oposisinya.
Saya
akan memberikan komentar sejauh dari apa yang antum tanyakan dan tulis,
ada pun di luar itu, saya tidak mengomentarinya. Dan, saya mohon maaf atas hal
itu.
Jika
Tidak Ada lagi Rasa Malu Lakukanlah Apa pun Semaumu
Ini
komentar saya yang pertama. Hendaknya para da’i, ustadz, dan murabbi
menjadi teladan yang baik. Jangan menyebarkan syubhat di tengah umat
dengan ucapan dan tingkah lakunya. Jadilah orang yang wara’ pada semua
keadaan. Termasuk ketika perang sekali pun menghadapi musuh. Tetapi, bagi orang
yang rasa malunya menipis memang biasanya terjadi degradasi kepekaan terhadap
dosa. Maka silahkan katakan dan lakukan apa saja yang dikehendakinya.
Dari
Abu Mas’ud Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئتَ
Dari
Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amru Al Anshari Al Badri Radhiallahu ‘Anhu, dia
berkata, Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
“Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali manusia ketahui
adalah; jika engkau tidak malu maka lakukan apa saja sesuai kehendakmu.”
(HR. Al Bukhari (3484, 6120), Adabul Mufrad (597, 1316),
Ibnu Hibban (607), Al Baihaqi, Syu’abul Iman (7734, 7736), As
Sunan Al Kubra (20576), Ahmad (17131, 17139, 22399, 23302), Ibnu Al Ju’di
dalam Musnadnya (819), Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab (1153,
1154, 1156), Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnadnya (621, 655), Abu
Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar (1327, 1328, 1329),
Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (20149), Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam (582,
1197))
“
…. Lalu mereka berfatwa, mereka sesat dan menyesatkan.”
Tidak
sedikit orang berbicara agama, tetapi kurang hati-hati. Lalu dia tergelincir
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Apalagi orang tersebut
tidak mau menanyakan kepada para ulama. Minimal berdekatan dengan kitab-kitab
para ulama, atau dia berdiskusi dengan yang lainnya agar memiliki gambaran yang
jelas dan tidak terburu-buru dalam berfatwa.
Namun,
ketika hawa nafsu telah menjadi panglima, kepentingan politik di atas
segalanya, menang kalah pertarungan politik menjadi targetnya. Yang haram bisa
dibuat abu-abu, sementara jalan halal yang terang benderang tidak ditempuhnya.
Maka lahirlah pernyataan-pernyataan yang membingungkan bahkan cenderung
menyesatkan manusia, setelah dirinya sendiri telah bingung dan tersesat!
Dari
Abdullah bin Amr bin al-‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, katanya: aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya
Allah Ta’ala tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari para hamba, tetapi Dia
mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai tidak lagi tersisa seorang
ulama. Akhirnya manusia menjadikan tokoh-tokoh bodoh sebagai rujukan, lalu
mereka ditanya kemudian berfatwa dengan tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan
menyesatkan.”(HR.
Bukhari, 100)
Qiyas Ma’al Fariq
Qiyas
Pertama. Sang
pemateri, mengqiyaskan banyak hak untuk menguatkan argumentasi dan
pandangannya. Seperti menggunakan hadits Shahih Bukhari: “Samma An
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Harba Khad’ah – Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam menamakan perang dengan tipu daya”, untuk membolehkan money
politic (baca: suap). Dia menganggap money politic adalah trik dan
tipu daya halal untuk kemenangan pemilu. Sembari berdalih karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam pernah mengotori sumur musuh yang bersih, dan menyisakan
satu yang bersih, dan juga karena dalam perang dibolehkan membunuh musuh.
Pendapat
ini memiliki beberapa cacat.
Pertama. Perang dalam Pilkada,
Pilgub, Pilpres, dan Pemilu secara umum di negeri muslim seperti di Indonesia,
bukanlah peperangan melawan orang kafir, dan sama sekali berbeda dengan makna al-Harb
dalam hadits tersebut. Partai-partai yang berkompetisi di negeri ini mayoritas
adalah muslim secara pribadinya. Bahkan bisa jadi secara personally
mereka lebih shalih dibanding sebagian aktivis Islam.
Maka,
menyamakan trik dan tipu daya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika
perang melawan orang kafir, dengan trik berupa money politic
untuk melawan partai-partai lain dalam pemilu pada saat ini, yang mereka
umumnya juga muslim, adalah qiyas ma’al fariq (analagi yang
kontradiktif), tidak aple to aple bahkan zhalim. Sebab, seakan telah
menyamakan sesama muslim sebagaimana orang kafir. Hanya karena mereka berbeda
pilihan politiknya. Dari sisi ini saja sudah cukup menjelaskan bahwa “Sang
Ustadz” telah ceroboh dalam “fatwa”nya.
Kedua. Kalau pun Sang Ustadz tidak
bermaksud mengqiyaskan, Beliau hanya memberikan contoh sekaligus dalilnya. Ini
juga pendalilan yang lemah bahkan tidak pantas. Tidak pantas hadits al-Harbu
Khad’ah –perang adalah tipu daya, dijadikan dalil untuk money politic
(risywah/suap) dan membeli suara, untuk mengelabui sesama muslim. Tidak
pantas pula kasus pengotoran sumur musuh, untuk dalil menghalalkan money
politic. Terlebih lagi bolehnya membunuh musuh (kafir) ketika perang,
dijadikan dalil untuk halalnya money politic juga. Dengan kata
lain, tidak ada wajh istidlal (sisi pendalilan) yang cocok di sisi mana
pun yang mendukung pernyataannya.
Jika
yang dimaksud “tipu daya dalam perang” adalah membuat ranjau yang tertutup
pohon, membuat perangkap untuk menangkap musuh, seorang prajurit berkata
“tidak” atau tidak mau bicara ketika diinterogasi musuh padahal dia tahu
jawabannya, prajurit menggunakan seragam yang dapat menyamar, atau menyamar
agar bisa masuk ke markas musuh, maka inilah tipu daya dalam peperangan.
Dibenarkan syariat, akal, dan tradisi peperangan di mana pun. Ada pun money
politic, memberikan sogokan untuk mempengaruhi keputusan floating mass,
dan floating mass bukanlah musuh, tanyakan kepada hati nuranimu, niscaya
nurani yang masih dihuni cahaya fitrah, akan menolaknya.
Membunuh
dalam peperangan adalah konsekuensi orang berperang, dan itu adalah hal yang
niscaya. Begitulah perang, hal-hal yang terlarang dalam keadaan normal seperti
membunuh, menjebak manusia (musuh), menyembunyikan fakta, dan semisalnya,
menjadi hal yang dibolehkan. Sedangkan money politic (menyuap) dalam
Pemilu, Pilkada, dan semisalnya, bukanlah konsekuensi orang berpolitik, kecuali
bagi para pengidap machiavelist. Tidak ada satu pun ulama yang
mengatakan menyuap haram, kecuali ketika Pemilu, maka dia jadi halal.
Apalagi pesaing dalam pemilu adalah sama-sama muslim, yang lebih pas
pemilu semestinya disebut berlomba dalam kebaikan, bukan peperangan. Betapa pun
pesaing tersebut menggunakan cara-cara kasar, dan memposisikan aktivis Islam
sebagai musuh.
Qiyas
kedua. Sang pemateri juga membolehkan money
politic karena menyamakan hal itu dengan orang-orang mualaf yang diberikan
ghanimah oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini juga qiyas yang
sangat jauh, dan keberanian yang luar biasa karena dia telah menyamakan
kedudukan dan fungsi harta ghanimah yang mulia dengan money politic yang
haram. Wallahul Musta’an!
Mualaf
yang mendapatkan ghanimah dan juga zakat, adalah manshush ‘alaih
(berdasarkan nash), agar mereka teguh kepada Islam dan tidak kembali kepada
kekafiran. Sedangkan memberikan money politic, agar mereka teguh
terhadap apa? Dan agar mereka tidak kembali kepada apa?
Jika
dikatakan agar teguh terhadap Islam, justru Islam melarang suap. Jika
dikatakan agar mereka tidak kembali kepada kekafiran, maka lawan-lawan politik
kita ternyata sesama muslim, saudara kita sendiri, bukan musuh, dan bukan orang
kafir.
Money
Politic
karena Musuh juga Melakukannya
Di
Mesir, aktivis gerakan Islam diperkirakan akan meraih kemenangan besar jika
Pemilu diadakan dengan jujur dan adil. Karena kekalahan mereka
sebelum-sebelumnya adalah lebih disebabkan kecurangan dari
musuh-musuhnya. Begitu pula di Tunisia.
Kemenangan
seperti ini yang seharusnya terjadi di negeri ini, yakni karena keadilan dan
tidak ikut-ikutan berbuat curang, dan bersabarlah untuk memenangkannya.
Bukankah jatuhnya citra partai da’wah disebabkan kendurnya mereka
terhadap indibath syar’i-nya? Bukankah kemulusan wajah gerakan Islam
ternoda lantaran mereka sudah berperilaku sama dengan musuh-musuhnya sendiri?
Jika
pesaing melakukan money politic, maka laporkan itu. Tetaplah istiqamah
dengan cara yang benar dan bersih. Jangan kehabisan akal dan strategi untuk
mencari cara yang halal. Agar rahmat dan berkah Allah Ta’ala senantiasa
bersama kita. Kalau pun kita kalah, tetapi kekalahan yang tetap mulia dan
berwibawa, justru itulah kemenangan hakiki sebab kita mampu melawan hawa nafsu
untuk berperilaku yang tidak benar. Jangan terburu-buru untuk menang, akhirnya
menghalalkan segala cara, padahal ayat dan hadits selalu kita baca; bahwa Allah
Ta’ala bersama orang-orang yang sabar!
Risywah itu Dosa Besar
Apakah
risywah itu? Disebutkan dalam Al Mu’jam Al Wasith:
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
“Sesuatu
yang diberikan agar tujuannya terpenuhi, atau sesuatu yang diberikan untuk
membenarkan yang batil, atau membatilkan yang haq.” (Al Mu’jam Al Wasith,
1/348. Dar Ad Da’wah)
Money politic adalah risywah, tidak syak
lagi, dan merupakan cara batil untuk mencapai tujuan walau tujuannya adalah
haq. Money politic adalah upaya memenangkan yang kalah dengan cara
batil, atau mengalahkan yang menang dengan cara batil pula.
Dari
Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda:
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
“Rasulullah
melaknat orang yang menyuap dan yang disuap.” (HR. At Tirmidzi, 1337, katanya: hasan
shahih. Abu Daud, 3580, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 7066,
katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Imam Adz Dzahabi berkata
dalam At Talkhish:”Shahih”)
Dalam hadits
Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melaknat
perantara suap. (Ar Ra-isy). (HR. Ahmad, 22399, Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: “Shahih lighairih.” Lihat Ta’liq Musnad Ahmad
No. 22399)
Niat
dan Tujuan yang Baik Tidaklah Merubah Sarana yang Haram menjadi Halal, kecuali
Memiliki Dalil
Kaidahnya:
الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بدليل
Tujuan
(yang baik) tidaklah membuat baik sarana (yang haram) kecuali dengan adanya
dalil. (Syaikh
Walid bin Rasyid bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al Fuhul
bitarjihat Masail Al Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al Ifham Al
‘Aliyah, 3/23)
Tujuan
dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram. Sarana
haram itu tetap haram walau dipakai untuk niat dan tujuan yang baik. Seperti
kasus memenangkan dakwah dalam kompetisi politik.
Dalilnya:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan
janganlah kamu mencampurkan antara haq dan batil, dan kamu menyembunyikan yang
hak itu padahal kamu tahu.” (QS. al-Baqarah [2]: 42)
Ada
pun yang ditunjukkan oleh nash boleh dilakukan adalah berbohong dalam
berperang, mendamaikan saudara yang bertengkar, berbohongnya suami istri untuk
menghargai dan menjaga perasaan mereka, dan beberapa contoh yang lain.
Oleh
karenanya, memperjuangkan agama yang mulia, tidak boleh dengan cara-cara yang
tidak mulia walau cara itu dianggap efektif. Selain tidak berkah, itu juga
mengotori citra dakwah dan Islam. Sadarkah “Sang Ustadz” ini?
Bukan
Termasuk Risywah
Ada
pemberian uang yang tidak termasuk suap sebagaimana yang dijelaskan para ulama.
Imam Ibnul Atsir dalam Nihayah-nya berkata:
فأما ما يعطى توصلا إلى أخذ حق أو دفع ظلم فغير داخل فيه روى أن بن مسعود أخذ بأرض الحبشة في شيء فأعطى دينارين حتى خلى سبيله وروى عن جماعة من أئمة التابعين قالوا لا بأس أن يصانع الرجل عن نفسه وماله إذا خاف الظلم
Ada pun pemberian
demi untuk mengambil hak atau mencegah kezaliman bukanlah termasuk suap.
Diriwayatkan bahwa ketika di Habasyah, Ibnu Mas’ud pernah
memberikan dua dinar sampai jalan yang ditempuhnya menjadi sepi (tidak ada
gangguan). Diriwayatkan dari Jama’ah para imam tabi’in, mereka mengatakan:
tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya jika dia takut kezaliman. (Sebagaimana
dikutip Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 4/471)
Lihat juga beberapa
kitab lainnya. (Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 10/88, Imam Abul
Hasan As Sindi, Hasyiah ‘Ala Ibni Majah, 5/16, dll)
Benar Tapi Salah
Sang
Pemateri telah benar ketika mengatakan bolehnya memberikan sejumlah uang, bagi
CPNS yang telah lulus dengan prosedur yang benar, tetapi namanya akan dicoret
jika dia tidak memberikan uang itu. Dia melakukan itu untuk memperjuangkan
haknya yang telah dirampas oleh orang zalim yang ada di instansi tersebut. Ini
benar.
Begitupula
yang semisal ini, jika seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada orang
yang telah menculik anaknya, dia melakukan itu untuk mengambil haknya yang
telah dirampas yaitu anak. Ini tidak dikatakan risywah (suap).
Tidak berdosa bagi yang memberi, tapi berdosa bagi yang menerima.
Begitupula
yang semisal ini, seseorang sudah lulus ujian untuk mendapatkan SIM, baik ujian
teori atau praktek, tetapi dia digagalkan berkali-kali karena tidak memberikan
sejumlah uang, maka dia boleh memberikan sejumlah uang kepada oknum polisi tersebut
yang telah merampas haknya. Ini bukan karena ingin menyuap, tetapi
memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh oknum polisi tertsebut. Hal ini
berbeda dengan seseorang yang sejak awal sudah memberikan uang kepada oknum
polisi, untuk memperlancar urusannya, padahal dia sama sekali belum layak
untuk mendapatkan SIM karena ketidakmampuannya.
Semisal
pula dengan ini, seseorang pedagang kaki lima yang berdagang di sebuah tempat
strategis, dan siapa pun berhak berdagang di sana, tetapi ada sekelompok preman
yang meminta uang keamanan yang ilegal (baca: pungli), yang jika tidak
diberikan maka pedagang ini akan diusir dari tempat tersebut. Maka, dia boleh
memberikan uang tersebut bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan
haknya. Ini juga sesuai dengan kaidah Al Irtikab Akhafu Dhararain,
melaksanakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat. Memberikan
sejumlah uang kepada mereka adalah mudharat, tetapi tidak bisa berdagang
di tempat yang strategis juga mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar.
Maka, tidak apa-apa dia memilih mudharat yang lebih kecil untuk menghindar
mudharat yang lebih besar.
Semisal
dengan ini pula, seorang saudagar yang dirampok dagangannya oleh perampok
jalanan, saudagar ini akhirnya memberikan sejumlah uang untuk menundukkan hati
perampok agar tidak mengambil keseluruhannya. Jika saudagar ini tidak
memberikan, atau malah melawan, justru perampok itu akan mengambil
keseluruhannya bahkan membunuhnya. Maka, kondisi ini boleh baginya untuk
memberikan kepada perampok itu sejumlah uang, untuk menghindar mudharat yang
lebih besar.
Dan,
contoh-contoh lain semisal ini. Semua ini hakikatnya bukan suap karena mereka
telah dianiaya, dirampas haknya, dan uang yang mereka berikan adalah untuk
menebus hak-hak mereka yang dirampas itu. (lihat lagi pembahasan Bukan
Termasuk Risywah)
Maka,
letak kekeliruan Sang Pemateri adalah kasus CPNS tadi dijadikan dasar, atau
dianggap sama dengan money politic untuk memenangkan Pilkada, Pilgub,
Pilpres, atau Pemilu. Ini kekeliruan fatal bahkan sangat ngawur. Sebab, dalam
pemilu siapakah yang dirampas haknya? Dan siapakah perampas itu sehingga kita
harus memberikan uang kepadanya agar hak kita kembali?
Money
politic dalam
pemilu terjadi biasanya sebelum pencoblosan/ pencontre ngan -baik dibayar cash
atau dijanjikan dulu adalah sama saja-, dengan kata lain siapa pemenang dan
yang kalah belum ketahuan, lalu uang itu diberikan agar mereka memilih kita
agar kita menang. Inilah suap, inilah risywah. Berbeda dengan CPNS yang telah
lulus ujian, berbeda dengan orang yang sudah lulus ujian SIM, berbeda dengan
orang tua yang merebut kembali anaknya, berbeda dengan pedagang kaki lima
yang memang berhak berjualan. Karena mereka sedang memperjuangkan hak yang
telah dirampas orang zalim. Bisakah Sang Pemateri, “Sang Ustadz” ini,
membedakan dua keadaan ini?
“Sang
Ustadz” ini juga memberikan contoh kasus sekeluarga yang memiliki 6 suara
yang tidak memilih karena belum ada yang memberikan uang kepada mereka. Maka,
mereka boleh saja diberikan uang untuk memenangkan kita. Justru inilah suap,
karena mencoba mempengaruhi keputusan orang dengan memberikan sejumlah uang,
dan tidak ada sama sekali kesamaan dengan kasus-kasus yang saya contohkan di
atas.
Apa
yang sedang dirampas dari Anda sehingga Anda harus merebutnya kembali dengan
memberikan uang kepada mereka? Dan, inilah cara-cara kotor yang dilakukan oleh
musuh-musuh dakwah, lalu kenapa jadi kita yang melakukannya, kenapa justru
aktivis Islam direkomendasikan untuk melaku kannya? Ini adalah “fatwa”
ngawur yang tidak seharusnya keluar dari “Sang Ustadz”, bahkan tidak
seharusnya keluar dari seorang muslim yang baik.
Aman
Syariah, Aman Hukum Negara dan Aman Citra
Sungguh
tepat kiranya, sebagian ustadz memberikan koridor bagi aktivis Islam dalam
menjalankan perjuangannya. Baik keputusan, program kerja, dan penggunaan uang,
yaitu hendaknya semua itu aman menurut syariah Islam, lalu aman pula menurut
peraturan negara, dan aman pula bagi citra aktivis tersebut. Kalaupun sebagian
ustadz mati-matian dan takalluf (maksain) untuk menghalalkan money
politic, dan dia merasa bahagia dengan beragam alasan yang
dikemukakan, tetaplah itu tidak aman menurut hukum negara dan akan merusak
citra dirinya dan Islam itu sendiri. Partai Islam kok nyogok-nyogok
juga. Akhirnya kebencian yang diperoleh, kemenangan juga menjauh.
Wahai
para da’i, malulah dengan jenggotmu, hitam jidatmu, dan uban di rambutmu.
Cukuplah itu menjadi perisai bagi kita untuk tidak bermain terlalu jauh dan
berani dalam zona yang abu-abu. Kalaulah level “halal-haram” sudah bisa dilalui
dan difahami, hendaknya berpikir pula level “kepantasan.” Jika ada
seorang da’i bermain catur karena memilih pendapat ulama yang membolehkan
seperti Abu Hurairah, Sa’id bin Jubeir, al-Qaradhawi, dan lainnya, tetapi
hendaknya dia tidak berpikir dari sisi boleh tidak boleh semata, tetapi
pantaskah dia melakukannya? Ambillah ini sebagai pelajaran!
Berbaik
Sangka
Kami
mencoba berbaiksangka, dan memang seharusnya demikian sikap kita terhadap
sesama muslim. Bahwa mudah-mudahan pernyataan “Sang Ustadz” ini keluar karena
dia dalam keadaan belum tahu, lupa, kurang teliti, dan udzur lainnya yang
membuatnya tidak dianggap sengaja berbuat salah. Sebab, sebagaimana diterangkan
dalam hadits shahih, Allah Ta’ala memaafkan dan tidak menganggap
kesalahan orang yang lupa, kesalahan tidak sengaja, terpaksa, anak-anak, orang
gila, dan orang tertidur.
Semoga
Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua agar tetap bersama al-Haq
dan Ahlul Haq.
Wa
Shallallahu ‘Ala Nabiyina Muhamamdin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment