Eep Saefulloh Fatah membuka opininya: Momentum Politik Jokowi dengan membawa-bawa Tuhan. Opini tersebut disiarkan di Kompas, 16 Maret 2014 yang lalu.
“Sampai
Jumat (14/3) siang, Tuhan masih menyisakan tiga hal sebagai misteri
bagi kita di Indonesia: jodoh dan kematian kita serta keputusan Megawati
Soekarnoputri soal kandidat presiden dari PDI-P,” tulis pendiri dan pemimpin PolMark Indonesia Inc. tersebut. “Tapi. Jumat sore, misteri terakhir terpecahkan Joko Widodo alias Jokowi resmi diajukan PDI Perjuangan sebagai calon presiden,” lanjut Eep.
Multatuli mungkin benar. “Harapan memberi saya keberanian, harapan membuat saya pandai berbicara dari waktu ke waktu,”
tulis si ‘aku yang banyak menderita ini’. Joko Wi menyimpan harapan.
Mungkin demikian. Hingga semua ingin memilikinya. Mengerubunginya. Bak
semut yang tidak bertemu gula beribu tahun lamanya. Mereka berlomba
mendekati Joko Wi. Tak terkecuali para belantik. Mereka berebut
menawarkan jasa. Bahkan berjualan. Semua heboh. Ada yang menjual batu
akik, keris, buku, web, sapi, dan jimat. Semua ingin dibeli oleh Joko
Wi. Ingin agar, setidaknya barangnya dilirik dan ditawar.
Bagaimana
dengan pesaing Joko Wi. Mereka tiba-tiba menjadi tak kuasa. Melempem
seperti kerupuk terkena hujan. Para pesaing Joko Wi harus melemparkan
handuk putih. Tanpa ada force majeur
atau kampanye hitam yang keterlaluan, kemungkinan pemilu presiden
berlangsung dalam satu putaran tampaknya akan menjadi kenyataan.
“Seloroh
publik, dipasangkan dengan ‘sandal jepit’ pun, artinya wakil cuma
melindungi jejak-jejak rekam sang bos, Jokowi akan menang.” Demikian tulis Radar Panca Dahana dalam opininya Bila Jokowi Membenahi Negeri yang nongol di Media Indonesia, 15 Maret 2014.
Lalu apakah benar demikian?
Pemilu
Legislatif 2014 baru saja usai. Hitung cepat sudah ditutup. Hasilnya
sudah diketahui. Pemenang biasanya senang. Nomor urut pertama, tentunya!
Tetapi ini tidak. Target perolehan suara PDI-P meleset. Dari 27.02
persen hanya mendapat 19 persen. Hasil ini tak sehebat prediksi survei.
Keberadaan Joko Wi ternyata tak mampu mendongkrak perolehan suara PDI-P.
Joko Wi effect ternyata tidak bereffect.
Sabtu, 12 April 2014 The Jakarta Post menulis, “Puan
then told Jokowi to leave. She was very disappointed, as she had
expected Jokowi’s popularity to help the PDI-P win at least 30 percent
of the vote, paving the way for her to become the party’s vice
presidential candidate later on,” the source said, adding that Megawati
had broken down in tears during the debate.
“Megawati
cried, not because she was sad to see Jokowi ousted from her own
daughter, but because she was witnessing a growing gap between Puan and
her second son, Prananda Prabowo, who backs Jokowi.”
Pesta ini belum selesai. Hura-hura ini akan terus berlanjut. Bahkan mungkin menjadi huru-hara. Semoga saja, tidak. Naudzubillah. Setidaknya sampai ketahuan siapa Presiden RI 2014-2019. Deg-degan. Ketar-ketir. Was-was. Bagi PDI Perjuangan, utamanya!
Mari,
kita kenal sedikit tentang Joko Wi. Ia Gubernur DKI Jakarta sejak 15
Oktober 2012. 9 Juli 2014 yang akan datang ketika Pilpres berlangsung,
usia kepemimpinan Joko Wi di Jakarta: 1 tahun 8 bulan 24 hari.
Joko
Wi lahir tanggal 21 Juni 1961. Ia lahir di Rumah Sakit Brayat Minulyo.
Ayahnya seorang penjual kayu. Mereka hidup sederhana dan tinggal di
rumah kontarakan di tepi sungai. Ayah Joko Wi hidup berpindah dari
kontarakan satu ke kontarakan lainnya. Keluarga Joko Wi bahkan sempat
digusur Pemerintah Kota Solo dari tempat mereka tinggal di tepi kali
Pepe. Namun pengalaman hidup sederhana tersebut tak membuat semangat
hidup Joko Wi pupus.
Joko
Wi, lulusan Fakultas Pertanian UGM ini sempat bekerja pada sebuah
perusahaan BUMN. Namun kelak ia lebih dikenal setelah berhasil membangun
usaha mebelnya di Solo. Ia berhasil menginisiasi pembentukan Asosiasi
Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Cabang Solo.
Di
tahun 2005 setelah dua tahun memimpin Asmindo, Joko Wi atas inisiatif
pengurus dan anggota Asmindo didorong untuk mencalokan diri sebagai
Calon Walikota Solo. Bersama F.X Hadi Rudyatmo sebagai wakil, Joko Wi
terpilih menjadi Walikota Solo periode 2005-2010.
Atas
keberhasilannya membangun Solo dengan berbagai kebijakannya, Joko Wi
kemudian terpilih kembali menjadi Walikota Solo periode 2010-2015.
Kebijakan Joko Wi di antaranya: pengelolaan PKL, efisiensi birokrasi,
kartu pendidikan dan kesehatan, bus wisata, kereta wisata, dan
peremajaan pasar-pasar tradisional.
Minggu
siang ini di Pondok Petir hujan datang tiba-tiba. Tak ada pemberitahuan
terlebih dahulu. Panas hilang dengan segera. Awan hitam memenuhi
langit. Saya teringat Upik. Ya, Upik, pemahat batu gunung. Upik di
ceritakan Multatuli dalam Max Havelaar.
“Ketidakpuasan
adalah penyakit,” kata Multatuli “dan itu penyakit yang parah,”
lanjutnya. Mengingat Joko Wi, teringat Upik. Upik selalu tidak puas.
Selalu ngebet ingin menjadi. Menjadi apa saja yang diinginkannya.
Menjadi orang kaya, raja, matahari, awan, dan batu. Upik akhirnya
kembali: menjadi pemahat batu.
Sebuah berita di dunia maya kubaca di siang yang hujan ini: “Jokowi ngebet jadi capres”.
Pembaca, saya kira sampai di sini dulu soal Joko Wi. Saya ingin menuliskan kisah si Upik untuk pembaca. Saya tulis lengkap dari Max Havelaar, 1985, h. 170-172. Ini dia kisah Pemahat Batu dari Jepang. Cerita ini saya kira dapat menjadi obat dari penyakit parah itu.
“Upik,
adalah seorang laki-laki yang memahat batu dari gunung. Pekerjaannya
amat berat, dan dia bekerja banyak, tapi upahnya sedikit, dan tidak
puas.
Ia
mengeluh karena pekerjaannya berat, dan ia berseru: Ah, sekiranya aku
kaya, aku akan tidur di balai-balai dengan kelambu sutra merah.
Lalu turun seorang malaikat dari langit, dan berkata: Anda akan menjadi kaya sebagaimana Anda kehendaki.
Dan ia pun menjadi kaya. Dan ia tidur di atas balai-balai dan kelambunya dari sutra merah.
Pada
suatu hari, raja berkeliling kota dengan kuda di depan keretanya; pun
di belakang kereta ada penunggang kuda dan payung keemasan memayungi
kepala raja.
Tatkala
si orang kaya mendengar tentang itu, hatinya berdukacita karena tidak
ada payung memayungi kepalanya, dan ia tidak merasa puas.
Ia mengeluh dan berseru: Aku ingin menjadi raja.
Lalu turun seorang malaikat dari langit dan berkata: Anda akan menjadi raja, sebagaimana Anda kehendaki.
Dan
ia pun menjadi raja. Dan di depan keretanya banyak penunggang kuda, pun
di belakang keretanya ada penunggang kuda, dan orang memayunginya
dengan payung keemasan.
Dan matahari bersinar dengan sinarnya yang terik dan membakar kerajaan bumi, sehingga rumput menjadi layu.
Dan raja mengeluh bahwa matahari membakar wajahnya, dan lebih berkuasa daripadanya, dan ia tidak merasa puas.
Ia mengeluh dan berseru: Aku ingin menjadi matahari.
Lalu turun seorang malaikat dari langit dan berkata: Anda akan menjadi matahari.
Dan ia berubah menjadi matahari. Dan dikirimnya cahayanya ke atas dan ke bawah; ke kanan dan ke kiri, dan ke mana-mana.
Dan dibakarnya rumput di atas bumi, dan wajah raja-raja yang ada di bumi;
Dan segumpal awan berhenti di antaranya dan bumi, dan cahaya matahari dipantulkan kembali.
Dan
ia menjadi murka, karena ada yang berani menentang kekuasaannya, dan ia
mengeluh bahwa awan itu lebih berkuasa daripadanya, dan ia tidak puas.
Ia ingin menjadi awan yang begitu berkuasa.
Lalu turun seorang malaikat dari langit dan berkata: Anda akan menjadi awan sebagaimana Anda kehendaki.
Dan ia pun menjadi awan, dan berhenti di antara matahari dan bumi, dan menampung cahaya matahari, sehingga rumput menjadi hijau;
Dan
awan itu menjadi hujan dan turun dengan tetesan-tetesan besar di atas
bumi, dan membanjiri sungai-sungai, dan banjir melanda kawanan-kawanan
hewan;
Dan banjir itu merusak ladang-ladang karena banyaknya air;
Dan ia jatuh di atas batu yang tidak berkisar. Dan ia jatuh menderu merupakan arus yang besar, tapi batu itu tidak berkisar.
Dan
ia menjadi murka, karena batu itu tidak mau menggeser; dan karena
betapapun deras arusnya, sia-sia belaka. Dan ia tidak merasa puas.
Ia berseru: “Batu itu lebih berkuasa daripadaku; aku ingin menjadi batu.”
Lalu turun seorang malaikat dari langit, dan berkata: Anda akan menjadi batu, sebagaimana Anda inginkan.
Dan ia menjadi batu, dan tidak bergerak ketika matahari bersinar, pun tidak apabila hujan turun.
Lalu datang seorang laki-laki membawa cangkul, dan pahat yang tajam, dan palu yang berat, yang memahat batu dari batu gunung.
Dan
batu itu berkata: Apa pula ini, laki-laki ini lebih berkuasa
daripadaku, dan memahat batu dari pangkuanku. Dan ia tidak merasa puas.
Ia berseru: “Aku lebih lemah dari orang ini, aku ingin jadi dia.”
Lalu turun seorang malaikat dari langit dan berkata: Anda akan menjadi orang itu.
Dan
ia menjadi pemahat batu. Dan ia memahat batu dari gunung batu, dengan
kerja yang berat, dan ia bekerja berat sekali, dengan upah yang sedikit,
dan ia merasa puas.”
Saya akan menutup tulisan ini dengan perkataan Louise dalam Sekolah Raja-Raja karya Multatuli, tentu! Louise berkata: manusia
harus hidup. Artinya: merasa, berpikir, bekerja, berusaha dan
menghasilkan buah beratus… beribu kali. Siapa yang tidak memberikan
lebih banyak daripada yang ia terima… adalah seorang nol besar dan telah
lahir dengan sia-sia.***
Ubaidilah Muchtar,Pemandu Reading Group “Max Havelaar” di Taman Baca Multatuli, Lebak, Banten.
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment