Agama
Islam telah menetapkan bahwa manusia diciptakan oleh Allah Subhanahu
wa Ta’ala dengan dibekali berbagai kekuatan, bakat dan potensi.
Potensi-potensi ini dapat diarahkan dan dipergunakan untuk kebaikan,
sebagaimana ia juga dapat diarahkan dan dipergunakan untuk keburukan.
Potensi ini untuk berupa kebaikan semata dan bukan pula berupa
keburukan semata. Meskipun keinginan terhadap kebaikan pada sebagian
orang terkadang lebih kuat, sebagaimana keinginan terhadap keburukan
pada sebagian manusia yang lain juga terkadang lebih kuat. Antara
keduanya terdapat perbedaan yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Di
dalam hadits yang shahih Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
“Setiap anak di lahirkan di atas fitrah (asal kejadian yang masih bersih, dapat menerima baik dan buruk).” (Thabarani)
Di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Manusia
itu bagaikan tambang, seperti tambang emas dan perak. Yang terbaik di
antara mereka di masa jahiliyah adalah yang terbaik di antara mereka di
masa Islam apabila mereka memahami ajaran agama.” (Bukhari)
Keterangan di atas diperkuat oleh firman Allah Ta’ala:
“Demi
jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan kepada
jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS 91:7-8)
Yakni
Allah menciptakan jiwa dalam keadaan di sempurnakan dan seimbang,
dapat menerima ketakwaan dan kefasikan, dan siap menerima pengaruh baik
dan buruk.
Allah
membekali manusia dalam hidupnya ini dengan pikiran yang dapat
dipergunakan untuk membedakan antara yang hak dan yang batil dalam
masalah aqidah, dan membedakan antara yang baik dan yang buruk dalam
masalah perbuatan dan dapat membedakan antara benar dan dusta dalam hal
ucapan.
Allah
memberikan kepada manusia kemampuan (qudrah) yang dapat dipergunakan
untuk menegakkan yang hak dan menghancurkan yang batil. Dapat
dipergunakan untuk mengerjakan kebaikan dan meninggalkan keburukan, dan
untuk mengucapkan kebenaran dan menjauhi kebohongan.
Allah
juga telah menggariskan bagi manusia jalan kebenaran, kebaikan dan
kejujuran melalui kitab-kitab yang diturunkanNya dan melalui
kitab-kitab yang diturunkanNya dan melalui rasul-rasul yang diutusNya.
Selama akal pikran manusia yang dpat membedakan hal-hal tersebut masih
ada, kemampuan untuk berbuat masih baik, dan manhaj (jalan) yang
digariskan Allah masih jelas, maka berarti manusia memiliki kebebasan
untuk berkehendak dan kebebasan untuk memilih perbuatan.
Manusia
harus mengarahkan kekuatan-kekuatan yang dimilikinya guna memilih
untuk dirinya sendiri, apakah kebenaran ataukah kebatilan, kebaikan
ataukah keburukan, kejujuran ataukah kedustaan yang dipilihnya.
Di dalam al-Qur’an yang mulia Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus. Ada yang bersyukur dan ada pula yang kafir.” (QS 76:3)
Yakni
Kami telah menunjukinya kepada jalan kebenaran dan kebatilan, kebaikan
dan keburukan, kejujuran dan kedustaan. Di antara manusia ada yang
menempuh jalan yang lurus, sehingga ia menjadi orang yang bersyukur.
Dan ada pula yang menempuh jalan yang bengkok, sehingga ia menjadi
orang kafir.
Mengenai pengertian ini Allah juga berfirman:
“Dan Kami telah menunjukinya dua jalan.”
Setiap
manusia bertanggungjawab untuk membersihkan dirinya dan memperbaikinya
hingga ia dapat mencapai kesempurnaannya yang telah ditentukan
baginya. Sebab memperbaiki, membersihkan dan mengingatkannya dengan
ilmu yang bermanfaat serta dengan amal shaleh itulah jalan yang harus
ditempuh untuk mencapai keberuntungan dan dan kebahagiaan dengan
mendapatkan ridha Allah dan dapat menyaksikan keagungan dan
keindahanNya. Jika mengabaikan hal di atas, itulah jalan menuju
kegagalan dan kerugiannya.
Allah berfirman:
“Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya
merugilah orang yang mengotori jiwa itu.” (QS 91:9-10)
Allah juga berfirman:
“Bahkan manusia menjadi saksi atas dirinya sendiri, meskipun dia mengemukakan alasan-alasannya.” (QS 75:14-15)
Allah berfirman lagi:
“Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS 74:38)
“Tiap-tiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS 52:21)
Ayat-ayat al-Qur’an yang menetapkan kebebasan manusia sangat banyak sekali. Di antaranya adalah firman Allah:
“Barangsiapa
yang mengerjakan amal shaleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri
dan barangsiapa berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri, dan
sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hambaNya.” (QS 41:46)
Di
dalam ayat ini Allah menyandarkan amal yang baik maupun amal yang
buruk kepada manusia. Andaikata manusia tidak bebas beramal niscaya
amal perbuatan tidak disandarkan kepadanya.
Di tempat yang lain dalam al-Qur’an yang mulia Allah berfirman:
“Dan
apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu).” (QS 42:30)
Yakni
sesungguhnya bencana-bencana yang menimpa manusia itu hanyalah
merupakan salah satu dari dampak amal perbuatannya dan hasil dari usaha
dan tindakannya sendiri.
Al-Qur’an
benar-benar berbicara tentang berbagai kerusakan dahn kejahatan yang
mengelilingi manusia, lalu al-Qur’an menjelaskan bahwa itu semua
bukanlah dari perbuatan Allah melainkan dari amal perbuatan manusia
semata.
Seperti firman Allah:
“Telah
nampak kerusakan di darat dan di laut karena perbuatan tangan manusia,
supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan
mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS 30:41)
Apa
yang ditetapkan oleh Al-Qur’an inilah yang dirasakan oleh manusia dari
dirinya. Ia merasakan bahwa ia mengerjakan amal-amalnya yang bisa
diusahakan dengan kehendak dan ikhtiar semata. Jadi dialah yang
melakukan amal-amal yang dikehendakinya, dan dia meninggalkan apa yang
dikehendakinya pula.
Apabila
manusia mengerjakan sesuatu yang bermanfaat maka ia berhak menerim
pujian, dan apabila mengerjakan sesuatu yang berbahaya maka ia berhak
dicela. Andaikata ia tidak bebas memilih untuk berbuat tentulah pujian
tidak diarahkan kepadanya karena mengerjakan sesuatu yang bermanfaat
dan cercaan tidak diarahkan kepadanya karena mengerjakan sesuatu yang
membahayakan.
Bahkan,
andaikata manusia tidak bebas memilih perbuatan yang dilakukannya
tentulah tidak ada lagi perbedaan antara orang yang berbuat baik dan
orang yang berbuat buruk, sebab masing-masing dari baik dan buruk
dipaksakan kepadanya untuk dikerjakan, tidak timbul dari kehendak dan
kemauannya sendiri.
Di
samping itu amar bil ma’ruf dan nahi ‘anil munkar tidak diperlukan
lagi karena tidak ada manfaatnya, sebab manusia dirampas keinginan dan
kehendaknya. Dan sudah barang tentu tidak ada artinya Allah membebani
hamba-hambaNya sebab membebani mereka dengan merampas kebebasannya
untuk memilih yang hendak dikerjakan adalah merupakan puncak kazhaliman
yang tidak layak bagi Allah. Dia Maha Suci dari perbuatan aniaya, dan
persoalannya akan menjadi seperti yang dikatakan penyair:
“Ia
melemparnya ke dalam lautan dalam keadaan tangan dan kaki terikat erat
lalu ia berkata kepadanya: Awas! Awas! Jangan sampai Anda basah kuyup
oleh air laut.”
Bahkan
andaikata manusia hanya dijalankan niscaya sia-sialah manfaat
undang0-undang, dan balasan pahala maupun siksa tidak dapat dibenarkan.
Kaum
musyrikin ingin berhujjah dengan kehendak Allah atas perbuatan mereka
menyekutukan Allah, dengan mengatakan bahwa andaikata Allah tidak
menghendaki demikian tentulah mereka tidak menjadi orang-orang musyrik.
Maka Allah menolak hujjah mereka ini dengan firmanNya:
“Orang-orang
yang mempersekutukan Tuhan akan mengatakan: Jika Allah menghendaki,
niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukanNya dan tidak
(pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah
orang-orang yang sebelum mereka mendustakan (para rasul) sampai mereka
merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai pengetahuan
sehingga kamu dapat mengemukakannya kepada Kami? Kamu tidak mengikuti
kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.”
Katakanlah: “Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia
menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” (QS
6:148-149)
Ayat
Al-Qur’an ini menolak hujjah kaum musyrikin dari dua sisi yaitu:
pertama bahwasanya Allah telah menimpakan siksaNya terhadap orang-orang
kafir terdahulu dan telah menurunkan hukumanNya kepada mereka. Maka
andaikata mereka tidak mempunyai kebebasan dalam memilih perbuatan yang
dikerjakan berupa berbagai pelanggaran dan dosa-dosa, kekufuran dan
kemusyrikan, niscaya Allah tidak akan menyiksa mereka sebab Allah Maha
Adil, tidak berbuat zhalim sekecil apa pun.
Kedua,
mereka beranggapan demikian karena kebodohan mereka terhadap Allah,
dan kebodohan mereka tentang agama Allah. Mereka tidak mempunyai
pengetahuan yang dapat dijadikan sandaran dan pegangan, dan tidak
mempunyai ilmu yang dijadikan rujukan. Kekafiran mereka hanyalah karena
penyelewengan dan penyimpangan dari agama Allah dan pengingkaran
terhadap kebenaran yang diturunkan Allah melalui lisan para rasulNya.
Apabila
Allah telah benar-benar menyiksa umat-umat terdahulu karena
kekafirannya, dan apabila kaum musyrikin tidak mempunyai hujjah yang
dapat mereka pergunakan sebagai alasan, maka nyatalah bahwa anggapan
kaum musyrikin tersebut adalah persangkaan belaka yang tidak dapat
dijadikan dasar suatu alasan dan tidak dapat dijadikan dalil.
Dengan
demikian tegaklah hujjah Allah yang kuat mengalahkan hujjah mereka.
Andaikata Allah menghendaki, tentulah Allah akan memaksa mereka
mengikuti petunjuk (kebenaran).dan jika ini benar-benar terjadi maka
pada saat itu mereka sekali-sekali tidak termasuk manusia, sebab
manusia diciptakanAllah mempunyai kemerdekaan dan kebebasan untuk
menentukan pilihannya (karena telah dibekali akal dan hati). (pm/hasanalbanna)
posted by @Dd
0 Post a Comment:
Post a Comment