Pak, Alphard dan rolex itu bukankah termasuk barang atau mobil mewah..??? Sang Ustadz menjawab, "Relatif atau tergantung siapa yang memandang"...., begitulah
dialog dari sebuah acara disalahsatu TV. Penulis sedikit tergelitik dengan
dialog tersebut, sehingga sedikit meluangkan waktu untuk berpikir dan membuat
catatan kecil ini.
Maaf Ustadz... dalam hal ini saya sedikit tergelitik dengan pernyataan Ustadz, kalau alphard itu tidak mewah tapi relatif, sedikit tulisan ini untuk menanggapi pendapat ustadz.
Yuk berpikir sejenak . . . . . . .
Jika kita melihat permasalahan tersebut di atas, maka ada hal yang amat penting yang terkadang terlupakan oleh kita, yaitu system nilai. Didalam system nilai apapun bentuknya, harus ada standar/acuan/rujukan/tolok ukur dari sebuah system nilai. Sehingga begitu kita mendiskusikan sebuah produk “nilai” dari sesuatu, maka harus mengacu kepada standart yang ada, dimana standar ini bisa diperoleh dari hasil kesepakatan atau berasal dari kajian yang dalam terhadap sesuatu. Segala sesuatu didunia ini pasti dan harus ada standar, karena jika tidak maka akan hancurlah system nilai yang ada karena tidak ada kejelasan.
Yuk berpikir sejenak . . . . . . .
Jika kita melihat permasalahan tersebut di atas, maka ada hal yang amat penting yang terkadang terlupakan oleh kita, yaitu system nilai. Didalam system nilai apapun bentuknya, harus ada standar/acuan/rujukan/tolok ukur dari sebuah system nilai. Sehingga begitu kita mendiskusikan sebuah produk “nilai” dari sesuatu, maka harus mengacu kepada standart yang ada, dimana standar ini bisa diperoleh dari hasil kesepakatan atau berasal dari kajian yang dalam terhadap sesuatu. Segala sesuatu didunia ini pasti dan harus ada standar, karena jika tidak maka akan hancurlah system nilai yang ada karena tidak ada kejelasan.
Contoh. Kapan
seseorang itu bisa disebut kaya atau miskin, tentu ada parameter yang bisa
dijadikan acuan utk menentukan pernyataan diatas. Contohnya Untuk orang miskin, orang didaerah tertentu bisa disebut miskin jika berpenghasilan < 2 Jt, Inilah yang dinamakan standar atau acuan. Begitu juga sebaliknya. Contoh lain, Jika kita ingin menimbang
ukuran 1 kg maka acuan kita adalah timbel ukuran 1 kg. Jika kita ingin mengukur ukuran 1 meter maka yang
dijadikan acuan adalah meteran 1 meter. Sehingga jika sudah jelas standarnya atau acuannya
maka tidak akan ada lagi perselisihan antara penjual dan pembeli.
Ada batasan batasan dimana kapan sebuah system nilai itu bersifat absolut
dan kapan system nilai itu bersifat relatif. Suatu ketika kami pernah berdialog dengan
aktifis pendukung JIL (yang selalu merelatifkan segala hal) di salahsatu forum
terbuka. Ketika ada momen dialog, kami bertanya “mana yang lebih cantik antara Dian
sastro dan Omas (maaf bukan bermaksud utk meren- dahkan). Dari pertanyaan tersebut ternyata
tidak ada satupun pendukung JIL itu yang berani mengatakan relatif. Dari contoh
analogi di atas, jelas sekali bahwa ada batasan-batasan tertentu dimana ada
nilai yang masuk ke area relatif, ada
yang tidak. Karena sekali lagi bahwa seluruh system nilai apapun bentuknya, pasti
punya standar acuan. Lain lagi jika pertanyaannya adalah, “mana yang lebih
cantik antara Dian Sastro dengan Syahrini..??”
Mungkin pendukung JIL ini baru berani bilang relatif.
Sebuah standar nilai bisa di adopsi dari nilai yang berkembang dalam
masyarakat (bahasa Arabnya Urf), karena system nilai itu berkembang dan mengikuti sesuai linier dengan
latarbelakang dari sebuah komunitas, baik itu menyangkut ekonomi, pendidikan,
budaya, adat, dan sebagainya.
Apalagi jika kita mengaku sebagai aktifis dakwah yang tentunya sudah mendapatkan limpahan materi tentang zuhud, melalui kisah kisah Rasulullah SAW dan sahabat, bagaimana mereka menjalankan kehidupannya bagaimana gaya hidupnya (life style), sehingga tentunya aktifis dakwah pasti mempunyai “standar” didalam mensikapi kehidupan. Betul mereka sebagian besar termasuk golongan berpunya, tetapi gaya hidup/life style mereka sederhana. Sampai sampai utusan dari romawi tidak mengetahui siapa Khalifah arab waktu itu karena penampilan Umar yang biasa saja dan tak berbeda dengan rakyat kebanyakan.
Menurut hemat kami, boleh kaya tetapi life style tetap sederhana. Apalagi ketika melihat fakta bahwa komunitas dakwah sebagian besar masih dalam taraf ekonomi biasa biasa saja. Ditambah lagi lagi jika sudah menyandang sebagai pejabat publik yang kedudukan itu diperoleh dari usaha dan keringat kader kader dakwah. Tidak elok rasanya jika berpenampilan borju dan mewah. Kecuali jika yang bersangkutan pada awalnya adalah pengusaha maka tidak menjadi masalah seperti apapun penampilannya.
Apalagi jika kita mengaku sebagai aktifis dakwah yang tentunya sudah mendapatkan limpahan materi tentang zuhud, melalui kisah kisah Rasulullah SAW dan sahabat, bagaimana mereka menjalankan kehidupannya bagaimana gaya hidupnya (life style), sehingga tentunya aktifis dakwah pasti mempunyai “standar” didalam mensikapi kehidupan. Betul mereka sebagian besar termasuk golongan berpunya, tetapi gaya hidup/life style mereka sederhana. Sampai sampai utusan dari romawi tidak mengetahui siapa Khalifah arab waktu itu karena penampilan Umar yang biasa saja dan tak berbeda dengan rakyat kebanyakan.
Menurut hemat kami, boleh kaya tetapi life style tetap sederhana. Apalagi ketika melihat fakta bahwa komunitas dakwah sebagian besar masih dalam taraf ekonomi biasa biasa saja. Ditambah lagi lagi jika sudah menyandang sebagai pejabat publik yang kedudukan itu diperoleh dari usaha dan keringat kader kader dakwah. Tidak elok rasanya jika berpenampilan borju dan mewah. Kecuali jika yang bersangkutan pada awalnya adalah pengusaha maka tidak menjadi masalah seperti apapun penampilannya.
Sehingga bisa kita simpulkan bahwa ketika kita hidup dibumi Indonesia, dan
kita ditanya apakah mobil Alphard termasuk mobil mewah…..??? maka kurang bijak rasanya jika kita jawab dengan
kata “…..RELATIF…”
Oleh Asdeddy Syam
posted by @Dd
0 Post a Comment:
Post a Comment