Kaum
“nganu” masih saja tidak bisa menerima kenyataan dengan keberhasilan Erdogan
dalam melakukan Islamisasi di Turki. Mereka juga senantiasa menutup mata atas
berbagai upaya yang terus dilakukan Erdogan dalam membela kepentingan kaum
muslimin di berbagai belahan dunia.
Kaum “nganu” juga terlihat ‘klojotan’
ketika menyaksikan betapa besarnya kecintaan dan kekaguman kaum muslimin, tidak
hanya di Turki, tapi juga di seluruh dunia kepada sosok Erdogan.
Setelah gagal merayakan pesta kudeta,
kaum “nganu” terus mencari celah untuk melakukan serangan balik kepada ‘Erdogan
Lover’ yang saat ini tengah menguasai panggung dunia maya.
Beragam
argumentasi mereka lontarkan untuk sekedar menghibur diri. Mulai dari
mengatakan bahwa kudeta di Turki hanyalah rekayasa Erdogan belaka; kemudian
menyebut Erdogan sebagai seorang penguasa diktator; hingga mengatakan bahwa
sesungguhnya para ‘Erdogan Lover’, yang mayoritas berasal dari kalangan
‘Islamis’, telah tertipu oleh sosok Erdogan.
Menurut
kaum “nganu”, sebenarnya Erdogan merupakan tokoh sekuler sejati, sehingga lucu
jika kaum ‘Islamis’ mengidolakan Erdogan. Erdogan adalah penjaga kesucian
sekulerisme Turki. Bahkan kata mereka, Erdogan adalah agen zionis dan antek
amerika. Alasannya karena Turki mempunyai hubungan diplomatik dengan israel;
dan tergabung dalam NATO bersama amerika.
Hehehe….
Untuk mematahkan argumen kaum “nganu” diatas, tak perlu kiranya kita
menggunakan teori-teori akademik yang ‘njelimet’. Cukup gunakan logika common
sense saja.
Jika
memang Erdogan adalah tokoh sekuler sejati, maka seharusnya para pengidap
“SEPILIS” (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) di negeri ini menjadi kelompok
terdepan yang membela ide-ide sekulerisme Erdogan. Mereka seharusnya menolak
ketika segelintir militer melakukan aksi percobaan kudeta, karena Erdogan
adalah penjaga sekulerisme.
Tapi
faktanya, para pengidap “sepilis” ini (liat aja aktivis-aktivis JIL) justru
yang paling bersemangat untuk menjatuhkan Erdogan dan mereka (sempat) bersorak-sorai
saat segelintir militer Turki mulai melancarkan aksi percobaan kudetanya, meski
akhirnya harus gigit 2 jari lagi.
Lalu
darimana logika yang mengatakan bhw Erdogan adalah sekuler? “Owwh…tidak bisa.
Pokoknya Erdogan itu sekuler. Titik”, kata meraka.
Yaaah….kalau
sudah pakai jurus “pokoknya-pokoknya”, repot juga kita menjelaskannya.
Btw
busway….Okelah untuk sekedar menghibur, kita ikuti saja jurus “pokoknya” mereka.
Anggaplah bahwa Erdogan adalah seorang “sekuler” tulen. (Kasihan…nanti
stressnya gak sembuh-sembuh)
Untuk
memahami seperti apa wajah sekulerisme di Turki, kita musti mengenal sosok
Musthafa Kamal Ataturk -yang mati dengan sangat mengenaskan- sebagai peletak
dasar ide-ide sekulerisme di Turki. Menurut Mustafa Kamal, jika Turki ingin
maju dan bangkit sebagai negara modern, maka rakyat harus meninggalkan pengaruh
agama dalam kehidupannya. Sebuah ide yang sebenarnya hanyalah kelanjutan dari
paham marxisme yang mengatakan bahwa agama adalah candu.
Orang-orang
yang kemudian melanjutkan ide dan cita-cita Mustafa Kamal kita kenal dengan
sebutan kelompok ‘kemalis’.
Kalau
mau dibandingkan, maka beginilah kira-kira perbandingan antara sekulerisme
Kemalis dengan “sekuler”nya Erdogan:
–
Jika dimasa Kemalis, muslimah dilarang memakai jilbab; di masa Erdogan justru
sang Ibu Negara (First Laddy)-nya yang berjilbab (dan gak buka copot kyk disini
loh).
Maka…beginilah
“sekuler”nya Erdogan”.
–
Jika dimasa Kemalis, adzan diharuskan berbahasa Turki; di masa Erdogan, adzan
dikembalikan ke bahasa Arab.
Maka…beginilah
“sekuler”nya Erdogan”.
–
Jika dimasa Kemalis, huruf Arab dihilangkan dari al-Qur’an; di masa Erdogan,
al-Qur’an kembali ditulis dalam huruf Arab..
Maka…beginilah
“sekuler”nya Erdogan.
–
Jika dimasa Kemalis, banyak masjid dan sekolah-sekolah agama yang ditutup; di
masa Erdogan, masjid kembali makmur dan berbondong-bondong orang tua
menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah agama.
Maka…beginilah
“sekulernya Erdogan”.
Gimana?
Sudah bisa membedakan antara sekulernya Kemalis dengan “sekuler”nya Erdogan?
Dalam
hal ini, bolehlah kita kutip (dengan sedikit gubahan) ungkapan William
Shakespeare: “Apalah arti sebuah ‘istilah’?
Silahkan
kalian berikan cap dan stigma apapun kepada putra-putri terbaik ummat ini,
karena kami tidak melihat pada cap dan merk yang kalian sandangkan, tapi kami
melihat pada apa yang telah mereka perbuat untuk ummat ini.
Kita jadi teringat dengan istilah
‘teroris’ yang disematkan dunia barat kepada para pejuang-pejuang Islam.
Seorang ulama kontemporer, Syeikh Dr. Yusuf al-Qaradawy, mengatakan jika
kelompok-kelompok pejuang seperti HAMAS dituding sebagai teroris, maka dirinya
rela dianggap sebagai seorang teroris.
“Ya Allah jadikan aku teroris,
kumpulkan aku bersama teroris dan wafatkan aku sebagai teroris”, ungkap beliau dalam
sebuah kesempatan.
Sekali lagi ini menunjukan bahwa cap,
merk, stigma, dan istilah apapun hanyalah permainan kata-kata belaka. Dan kita
tidak akan tertipu dengan label-label tersebut.
Kembali ke Erdogan…..
Sebenarnya inilah kecerdasan Erdogan,
dan BODOH-nya kaum “nganu” dalam membaca Sosio-Politik Turki. Biar
bagaimanapun, pengaruh sekulerisme di Turki yang sudah berakar sejak hampir 1
abad, tidak mungkin serta merta dihilangkan secara tiba-tiba dengan naiknya
Erdogan yang baru 15 tahun naik ke panggung politik Turki.
Erdogan paham bahwa antara Turki dan
Sekulerisme ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Namun bukan
berarti tidak bisa “diakali”
Erdogan banyak belajar
dari para pendahulunya, yang perjuangannya harus layu, bahkan mati, sebelum
berkembang.
(Ali
Adnan Menderes di tiang gantungan)
Erdogan tentu membaca kisah Ali Adnan
Menderes, Perdana Menteri Turki yang partainya menang telak pada Pemilu 1950
dan1954, namum di kudeta dan syahid di tiang gantungan pada 1960 karena
program-program partainya yang ingin menghidupkan kembali simbol dan
nilai-nilai Islam dalam masyarakat Turki.
(Necmettin
Erbakan)
Erdogan juga mengalami sendiri
bagaimana Guru Politiknya, Necmettin Erbakan, yang harus beberapa kali
mendirikan partai karena selalu dibubarkan oleh pihak militer, hingga akhirnya
di kudeta pada 1997 silam meskipun partai terbarunya, Partai Refah, memenangi
pemilu dan berhak membentuk pemerintahan. Alasannya lagi-lagi karena Partai
Refah dicurigai memiliki agenda Islamisasi dan Erbakan dianggap sebagai ancaman
bagi sekulerisme di Turki.
Maka lahirnya Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP) yang didirikan Erdogan dkk harus dipandang sebagai evaluasi
dan strategi baru kalangan ‘Islamis’ di Turki, khususnya yang berkaitan dgn
relasi antara agama dan negara.
Erdogan dan AKP-nya tampil sebagai
partai yang lebih soft dengan meninggalkan perdebatan runcing antara sekulerisme
vs Islamisme, dan lebih menekankan pembangunan serta penyediaan ruang yang
memungkinkan setiap orang menikmati kebebasan dalam hidup bersama di tengah
masyarakat.
Ternyata strategi ini dapat diterima
oleh mayoritas masyarakat Turki dan menutup celah bagi institusi militer, yang
jiwa korsa-nya masih kental dengan semangat sekulerisme, untuk melakukan kudeta
terhadap Erdogan.
Tidak seperti dua pendahulunya yang
bersikeras untuk mengikis pengaruh sekulerisme, Erdogan justru “memanfaatkan”
celah sekulerisme demi kepentingan ummat yang lebih luas.
Maka membaca “sekuler”nya Erdogan hanya
dalam rentang waktu 2001 (tahun lahirnya AKP) hingga saat ini, tanpa melihat
latar belakang dan peristiwa yang dialami dua tokoh diatas, membuat kita tidak
sampai pada pemahaman yang utuh.
Dengan strateginya, Erdogan sukses
memelihara nilai-nilai “sekulerisme” di Turki, namun tentu dengan versi yang
berbeda dengan sekulerisme yang dipahami kelompok kemalis selama ini.
Erdogan tampil bak ‘Pendekar Taichi
Master’ yang menggunakan kekuatan lawan untuk melakukan serangan balik dan
memetik kemenangan.
Beginilah…. “sekuler”nya Erdogan.
INI STRATEGI CERDAS
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment