Tahukah Anda, 47% penjualan di
Amazon.com -- toko paling besar di planet ini -- berasal dari penjualan item
yang ditampilkan pada bagian Recommended Product. Fitur ini terletak di bagian
bawah deskripsi produk yang sedang kita lihat. Ia berbentuk barisan
produk-produk yang direkomendasikan oleh Amazon kepada kita. Tanpa fitur ini
Amazon tidak sebesar seperti yang kita kenal sekarang.
Fitur Recommended Product terdengar
simpel bagi kita, terutama para pengembang web. Seorang siswa SMP saat ini
sudah bisa membuat website. CMS (seperti Wordpress, Joomla, Drupal, Magento
dll) dan template, termasuk untuk ecommerce tersebar dimana-mana. Di dalamnya
pun sudah ada fitur Recommended Product. Template yang nyaris seperti Amazon
juga sudah banyak. Tinggal pasang, jalankan.
Sesederhana itu?
Apakah kalau kita bikin toko online
dengan fitur Recommended Product maka kita bisa menyontek kesuksesan Amazon?
Tidak. Yang berada di belakang fitur Recommended Product Amazon adalah sebuah
learning machine dengan kecerdasan buatan atau artificial intelligent (AI) yang
super kompleks. Ia membaca perilaku kita selama berada di dalam toko yang
ditunjukkan lewat klik dan di bagian mana kita banyak berfokus (heat map). Data
ini disinkronkan dengan data profile kita, lokasi, kegemaran, pekerjaan,
pendapatan, perilaku media sosial, dll. AI ini tak hanya mencoba memahami siapa
kita, tapi juga (jutaan) pembeli lain yang punya perilaku atau profil mirip
kita. Data-data ini diolah dan disinkronkan. Output-nya adalah Recommended
Product yang tujuannya adalah menawarkan barang yang tepat kepada orang yang
tepat berdasarkan data orang itu dan data jutaan orang lain.
Information Technology (IT) atau teknologi
informasi adalah ketika Anda (atau seorang anak SMP) membuat sebuah website
seperti Amazon untuk melayani orang lain. Data Technology (DT) atau teknologi
data adalah ketika Anda menggunakan data untuk memahami orang lain. IT adalah
mesin yang menjalankan otomatisasi untuk melayani manusia. Ia bersifat
self-control dan self-management.
IT membuat manusia berperilaku seperti
robot. IT adalah sesuatu yang; I have, you don't have. DT adalah mesin yang
dibuat untuk memahami manusia. Ia menstimulasi produktivitas manusia dan
melayani banyak orang. DT membuat robot berperilaku seperti manusia. DT adalah sesuatu yang; You have, I don't
have.
Era IT sudah lewat dan tak lagi cukup.
Sama seperti bisa membuat sepeda tidak lagi cukup, tapi harus membuat sepeda
yang bisa berjalan sendiri -- sepeda motor. Selamat datang di era DT.
MEMAHAMI BIG DATA
Sering kita dengar sebutan Big Data dan
orang-orang mengatakan ia sangat penting. Saya akan coba bantu Anda
memahaminya. Rata-rata komputer personal di tahun 1980-an hanya bisa memproses
data dalam bentuk sangat sederhana: teks, angka, gambar dan string (simbol). Ia
juga stand-alone atau berdiri sendiri.
Untuk memindahkan data ke komputer lain
dilakukan lewat floppy disk. Di tahun 1990-an, data yang bisa diproses makin
banyak: audio dan video. Data sudah bisa dipertukarkan dalam sebuah jaringan
yang terdiri dari beberapa komputer.
Kemudian kita kenal internet.
Pertukaran data menjadi masif dari semua pengguna komputer di seluruh dunia.
Revolusi komputasi di tahun 2000-an adalah ketika komputer makin kecil
sekaligus makin cepat memproses data. Kita kenal dengan nama gawai atau gadget:
smart phone, tablet, wearable device, iPod, dll. Semuanya terhubung ke internet
dimana data saling dipertukarkan.
Komputer tak lagi digunakan manusia
untuk bekerja seperti tahun 80-90-an. Ia jadi perangkat kebutuhan sehari-hari
untuk komunikasi, hiburan, kesehatan, informasi dan gaya hidup. Orang saat ini
terhubung ke internet bukan lagi hanya untuk mengakses data dari penyedia data
di masa lalu seperti membaca situs berita. Tapi semua orang menciptakan data
dalam bentuk update di media sosial, blog, wiki, forum, dll. Inilah
bentuk-bentuk data yang diciptakan, disimpan, diolah dan dipertukarkan di era
ini: teks, angka, string, gambar, audio, video, geospacial hingga sensor.
Data-data ini diciptakan dan ditransaksikan oleh semua manusia pengguna
perangkat komputasi, kita semua. Ia tak hanya berupa data yang kita
transaksikan secara sadar, meng-update wall di Facebook misalnya. Tapi juga
mentransaksikan data yang dibuat secara tidak sadar, antara lain: lokasi,
perilaku saat mengakses internet atau media sosial, aplikasi yang kita gunakan
dan perilaku kita atas aplikasi tersebut, sampai pola hidup kita yang direkam
wearable device. Pada tulisan saya berjudul Mata Uang Baru Itu Bernama Data
telah disampaikan bahwa ponsel kita lebih kenal siapa diri kita dibanding diri
kita sendiri. Setiap hari, seluruh perangkat komputasi yang digunakan manusia
menciptakan 2,5 quintiliun byte data, atau 2,5 x 10 pangkat 18, atau 2,5
triliun triliun.
Dan tahukah Anda, dari seluruh data
komputasi yang tersimpan sejak komputer ditemukan hingga hari ini, 90%-nya
adalah data yang diciptakan 2 tahun belakangan. Bila setiap hari ada 2,5
quintiliun byte data yang ditransaksikan manusia lewat mesin. Data-data ini tak
hanya raksasa, tapi juga terpisah-pisah dan tak terstruktur. Akan digunakan
untuk apa data ini? Apakah hanya jadi 'sampah' di mesin penyimpan? Inilah
perbedaan besar antara IT dan DT. IT adalah ketika kita menciptakan teknologi
yang bisa menciptakan, merekam, mentransaksikan data dan kemudian disimpan
dalan database. DT adalah ketika kita menciptakan teknologi yang mengolah
data-data tersebut menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi kita. Tanpa DT, 2,5
quintiliun byte data itu cuma sekedar angka yang tak ada artinya.
DATA BAGI KEMASLAHATAN MANUSIA
Bagi warga kota besar seperti Jakarta,
aplikasi kondisi jalan raya seperti Google Map atau Waze sangat penting untuk
melihat kondisi kemacetan. Data trafik jalan yang kita lihat di Google Map
adalah data geospacial yang dipertukarkan oleh para pengguna Map di berada
lokasi tersebut. Tanpa DT, kita tak akan bisa melihat jalan di Map berwarna
merah, kuning atau oranye. Pengguna aplikasi Gojek bisa melihat berapa banyak
driver yang ada di sekitar lokasi mereka, atau sudah sampai di mana driver
pesanannya berada. Berkat DT, lewat Twitter kita bisa membaca ketertarikan
orang banyak di sebuah lokasi hanya dengan memasukkan kata kunci dan pilihan
lokasi. Tanpa DT, Google dan Facebook tak akan berpenghasilan Rp 924 triliun
dan Rp 175 triliun di tahun 2014 lalu. "Masa depan tidak digantungkan pada
keahlian, kekuatan atau berapa banyak uang yang kita punya. Tapi pada
pengetahuan dan kebijaksanaan," kata Jack Ma, CEO dan pendiri Alibaba,
toko ritel paling besar di dunia dan salah satu promotor DT di dunia.
Pengetahuan lahir dari informasi. Dan informasi itu adalah 2,5 quintiliun byte
data per hari. "IT membuat orang lain melayani kita.
DT membuat kita melayani orang
lain," sambung Ma yang kini jadi salah satu penasehat dalam mega proyek
pembangunan mega city DT di Guizhou yang ikut dikerjakan bersama Baidu, Tencent
dan para raksasa teknologi Tiongkok lainnya. Altruisme atau perhatian kita
terhadap kesejahteraan atau pemecahan masalah orang lain tanpa memperhatikan
diri sendiri adalah salah satu pondasi dasar DT. Ia harus berjalan di atas
prinsip tolong-menolong. Squee contohnya. Aplikasi 'jalan tikus' buatan anak
dalam negeri ini adalah pemenang Jakarta Urban Challange 2015. Squee membantu
penggunanya menemukan rute jalan kaki yang lebih singkat, aman dan menarik.
Bahkan bisa saling janjian bertemu. Tak hanya membantu pengguna, tapi menjadi
salah satu solusi kemacetan Ibukota. Prinsip altruisme itu sadar atau tidak
selalu kita lakukan. Dengan menggunakan Google Map atau Waze saat berkendara,
data kita dimanfaatkan untuk membantu orang lain. Google atau Waze yang berada
di tengah 'hanya' bertugas untuk memproses data kita tersebut agar berguna bagi
orang lain.
Betapa besar perubahan transportasi
kita bila setiap kendaraan memiliki perangkat permanen geospacial ini. Di
negara-negara maju, DT turut dipergunakan untuk meningkatkan kesehatan
masyarakat lewat mesin agregator yang mengumpulkan data pasien dari seluruh
rumah sakit, klinik, apotek, media sosial, forum, sampai wiki. Lewat data
evidance based ini pemerintah dengan mudah memantau kondisi kesehatan
masyarakat, perilaku, penyakit yang perlu diwaspadai, dll, yang itu semua
membantu pemerintah mengambil keputusan secara cepat dan akurat. Bagi pelaku usaha,
DT adalah kunci untuk memahami konsumen, melakuan improvement secara terukur
dan menemukan peluang baru. Kata Jack Ma, era business to consumer atau B2C
sudah selesai. B2C terjadi ketika produsen menciptakan sebuah produk yang
mereka rasa cocok bagi konsumen. Kini apa yang diinginkan konsumen tak lagi
'dirasa-rasa', semuanya terkumpul dalam Big Data. Konsumen sebenarnya telah
menyampaikan apa yang mereka inginkan lewat jutaan data yang mereka
transaksikan lewat perangkat komputasi. Ini adalah era C2B atau consumer to
business, dimana standar akan kebutuhan sebuah produk ditentukan sendiri oleh
konsumen. Mereka yang menang adalah pemilik DT terbaik. Nyaris tak ada aspek
kehidupan yang tak bisa di-improve oleh DT, mulai dari transportasi sampai
iklim, dari kesehatan hingga pendidikan, mulai perniagaan sampai pemerintahan.
SMART CITY ADALAH KOTA DT
Bulan lalu saya bertemu dengan salah
satu kepala dinas sebuah kabupaten yang gencar mengkampanyekan daerahnya
sebagai smart city atau kota cerdas. Si pejabat berkonsultasi bagaimana cara
terbaik menampilkan APBD di website, maksudnya supaya transparan kepada
masyarakat. Saya jawab, apa susahnya kalau cuma itu tujuannya. Tinggal ketik,
upload di website Pemda, selesai. "Yang sekarang dilakukan ya seperti itu,
Mas. Tapi Bupati minta yang lebih canggih," sambung si pejabat. Saya tidak
paham apa yang dimaksud 'canggih' oleh mereka. Tapi saya kesampingkan dulu itu.
Saya bertanya, apakah Bupati bersedia mata anggaran APBD sampai satuan tiga
ditampilkan kepada masyarakat lewat website, bisa dikomentari semua orang, dan
penggunaan tiap mata anggaran dilaporkan secara terbuka? "Wah, pasti nggak
mau, Mas. Bisa ribut," jawab si pejabat cepat. Ya sudah, tak ada yang bisa
saya lakukan. Tidak sedikit kepala daerah di Indonesia yang mengartikan smart
city sebagai kota yang canggih, terkomputerisasi, atau terotomatisasi. Yang
sudah pakai e-gov, e-budgeting, e-proc dan e- e- lainnya itu. Padahal smart
city utamanya adalah persoalan menghadirkan kultur baru dalam meningkatkan
mensejahterakan masyarakat, layanan publik, iklim usaha dan pelestarian
lingkungan hidup. Salah satu perangkat terpentingnya memang teknologi. Tapi
teknologi itu tak ada gunanya bila ia hanya jadi perangkat 'canggih' yang
berdiri di atas kultur lama. Soal transparansi misalnya. Smart city bagi
mayoritas kepala daerah baru sebatas proyek bikin website dan software,
pengadaan komputer dan jaringan, bahkan bikin live streaming yang tidak ada
penontonnya itu.
Transparansi adalah salah satu pondasi
terpenting lain dalam DT selain altruisme. 'Canggih' adalah ketika semua data
pemerintahan berupa anggaran, proyek, KPI dll itu terkomputerisasi, online dan
terintegrasi. Ia jadi 'pintar' atau 'smart' ketika data-data tersebut dibuka,
ditransaksikan dan interaksikan kepada publik dan seluruh pemangku kepentingan.
Hasil transaksi data dan interaksi publik itu kemudian dipergunakan pemerintah
untuk membuat keputusan. Smart city bukan 'kota komputer' atau 'kota otomatis'.
Ia adalah kota dimana peningkatan kesejahteraan, kualitas hidup, layanan
publik, kerjasama dan kepercayaan ditempuh lewat pengelolaan data yang didapat
melalui teknologi. Salah satu contoh pengelolaan DT oleh pemerintah yang telah
on-track di Indonesia sepengamatan saya adalah Kota Bandung lewat Bandung
Command Center (BCC). BCC bukan hanya 'bioskop' dengan banyak layar. Bukan juga
cuma pos pengamatan ratusan CCTV yang tersebar di seluruh bandung. Lewat video
ini Anda bisa tahu bahwa BCC terintegrasi dengan seluruh dinas, kepolisian,
mobile app kepanikan, laporan anggaran, progres proyek, percakapan media
sosial, sampai penerangan jalan. Dari DT yang diproses lewat BCC, para staf
Ridwan Kamil, Walikota Bandung, bisa mengumpulkan data serta informasi secara
cepat langsung dari masyarakat, untuk bertindak secara sigap dan akurat. BCC
dengan model DT seperti ini tidak akan terjadi bila Ridwan Kamil tidak ingin
menghadirkan kultur keterbukaan, melayani dan kerjasama kolaboratif dengan
masyarakat Bandung. Penggunaan smart phone yang begitu masif dan konektivitas
internet yang sudah sampai pelosok, big data itu sudah tersedia dimana-mana.
Smart city adalah kota yang pemerintahnya mendayagunakan big data lewat DT
dengan prinsip altruisme, keterbukaan dan tanggungjawab.
KITA SAMA-SAMA MEMULAI
Bila Anda berpikir untuk berperanserta
dalam DT sebagai pelaku industri, pemerintahan atau organisasi non-profit,
sekarang adalah masa terbaik. Dunia baru sama-sama memulai era DT dan tak ada
satu pun pihak yang mengklaim dirinya sebagai pihak paling berkuasa atas DT
atau punya kontrol penuh. Sumber data itu ialah semua manusia, oleh karenanya
setiap pihak saling tergantung. Ingatlah bahwa DT adalah; you have, I don't
have. DT membuat kita makin memahami manusia dan menciptakan dunia yang lebih
baik lewat pemahaman itu. Di masa mendatang, ada 4 bidang profesi yang memiliki
permintaan tertinggi di dunia. Ia disebut STEM Education: science, technology,
engineering, math. James Bacon, jurnalis bidang teknologi menulis: "Ibu,
jangan biarkan anakmu menjadi pengacara. Programmer komputer dan insiyur akan
hidup sejahtera di abad ke-21. Tapi bila kamu ingin anakmu jadi orang seperti
Steve Jobs dan Bill Gates, sekolahkan mereka di bidang matematika yang
memungkinkan mereka mempelajari analisa big data.
http://www.kompasiana.com/hilmanfajrian/selamat-tinggal-teknologi-informasi-selamat-datang-teknologi-data_565d1e5df37e61bd306a05ed
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment