Perdana
Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan berhasil menghapus larangan
berjilbab serta larangan memelihara janggut. Pencabutan salah satu
undang-undang paling represif tersebut dielu-elukan sebagai bentuk
kematangan berdemokrasi di negara sekuler itu.
''(Pengenaan)
jilbab sudah dibebaskan dalam republik ini,'' ucap Erdogan, saat bicara
di Ibu Kota Ankara, seperti dilansir Reuters (9/10).
Erdogan
mengatakan, kebebasan mengenakan atribut keagamaan menandakan tuntasnya
era kegelapan di Turki. ''Ini adalah langkah menuju normalisasi
demokrasi di Turki,'' katanya.
Erdogan dengan motor politiknya,
Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) telah lama berkampanye
mengembalikan Islam sebagai bagian dari Turki. Hal itu bukan main
susahnya. Sebab, sikap anti-Islam sudah tertanam selama sejarah
berdirinya Republik Turki.
Sejak runtuhnya Kekaisan Ottoman
1923 silam, Bapak Turki Mustafa Kemal Attaturk menjadi pengikis pengaruh
Islam dalam keseharian masyarakat dan pemerintahan di Istanbul.
Attaturk sengaja menghapuskan simbol-simbol agama. Dia memaksakan budaya
barat dengan mempromosikan sekulerisme.
Cita-cita Attaturk
tercapai. Menjadikan Turki sebagai republik, yang bukan cuma sekuler,
tapi juga menolak keberadaan agama. Padahal realisme sosial menunjukkan,
lebih dari 50 persen populasi di Turki - hingga hari ini adalah muslim.
Sekularisme pun mencuatkan permusuhan terhadap agama. Lebih
dari 90 tahun, Islam dan sekulerisme adalah persoalan paling emosional
di Turki. Sekulerisme menjadikan Islam sebagai musuh utama negara.
Negara
memberi benteng tinggi dan tebal, penghalang nuansa Islam di negara
itu. Salah satunya adalah regulasi larangan berjilbab dan berjanggut
panjang.
Negara tidak main-main dengan aturan dan sanksi yang didapat. Seorang pegawai negeri dan pejabat pemerintah akan dicabut kewarganegaraannya jika melawan.
Pernah
pada 1999, anggota parlemen perempuan Merve Kavakci sengaja menguji
keberlakuan hukum itu. Blasteran Turki-Amerika itu melenggang dengan
jilbab menutupi bagian rambut dan lehernya saat sidang perdana.
Perdebatan
hebat pun terjadi. Kavakci bukan saja dipecat sebagai anggota
legislatif. Atas nama negara, Kavakci diusir setelah dihapus
kewarganegaraannya.
Namun kemenangan AKP dalam pemilihan umum
2002 membawa dimensi baru. Perang melawan sekulerisme dan sikap represif
pun dimulai. AKP tidak spontan dengan visi ke-Islaman. Faksi Islam ini
memberi dinamika berdemokrasi yang wajar.
Mengurung Islam
dianggap sebagai sikap yang bertentangan dengan paham demokrasi. AKP
menginginkan kepercayaan mayoritas itu menjadi entitas yang harus diakui
keberadaannya.
AKP menolak sangkaan hendak mengubah Turki jadi
negara Islam. Bagi AKP perlu memastikan jaminan hak terhadap muslim di
negara itu. Dan jilbab adalah salah satu hak seorang muslim.
''Larangan
berjilbab, adalah penderitaan paling pilu bagi muslim di negara ini.
Kami sudah mengakhiri penderitaan para orang tua kami,'' sambung
Erdogan. "Masa gelap telah berakhir," lanjutnya.
Erdogan
sebenarnya sudah mulai melawan sikap anti-Islam sejak dirinya memimpin.
Erdogan mencabut larangan berjilbab 2011 lalu di teritorial terbatas.
Jilbab
pun mulai kembali dikenakan di kampus dan sekolah. Cemoohan dari
oposisi terjadi. Namun Erdogan mengimbangi 'makian politik' itu dengan
pembangunan dan kesejahteraan rakyat Turki.
Kemenangan Erdogan
ini membuat kelompok oposisi mulai kehilangan pengaruh. Anggota Partai
Rakyat Republik (CHP) Sezgin Tanrikulu mengatakan, pencabutan larangan
berjilbab adalah diskriminasi terhadap warga negara. Bagi tokoh oposan
ini, AKP tidak paham tentang makna demokrasi. ''Ini adalah sikap untuk kalangan tertentu. Ini jauh dari makna kebebasan kita (Turki),'' katanya.
posted by @Dd
0 Post a Comment:
Post a Comment