“ORANG-ORANG yang turut menyebarkan paham dalam
masyarakat yang akan menegakkan kendornya rasa perjoangan, rasa jihad
menegakkan cita Islam, bukan saja menjadi pelopor membawa ke jalan
kafir, bahkan itulah pengkhianat-pengkhianat yang membawa nama Islam
untuk menghancurkan kekuatan Islam.”[“Dari Hati ke Hati”, Hamka, Pustaka Panjimas Jakarta. 2002. Jakarta]
Itulah kalimat peringatan yang tegas sekali bunyinya dari seorang
ulama Indonesia, Buya Hamka. Peringatan ini ia lontarkan, untuk
mengingatkan para pemuda untuk menentang dengan tegak segala macam
isme-isme (paham) baru yang diimpor dari barat, untuk menyebarkan rasa
keragu-raguan atau melemahkan iman dalam Islam. Tulisa-tulisan semacam
ini digoreskan oleh Buya Hamka dalam periode selepas Orde Lama. Dari
tahun 1960 sampai 1970an. Analisis Buya Hamka memang tidak salah. Ia
menandaskan pemuda-pemuda Islam, yang justru menjual agamanya itu,
ditandai dengan penyakit rendah diri. Menurutnya pemuda-pemuda itu,
“…mentang-mentang sudah dibawa orang bergaul dalam masyarakat yang
agak ‘barat’ sifatnya, dia belum merasa progressif kalau belum turut
bersorak mengatakan bahwa Islam, harus pandai menyesuaikan diri kalau
mau maju,”demikian tulis Buya HAMKA.
Tepat sekali pengamatan beliau. Bahkan hingga saat ini, betapa banyak
saat ini pemuda-pemuda Islam, membawa-bawa nama Islam untuk menyebarkan
paham-paham yang sebenarnya menghancurkan Islam. Mereka selalu
menyandingkan nama Islam di depannya; Islam liberal, Islam inklusif,
Islam progressif, dan lain-lain. Selalu yang mereka dengungkan,
bertujuan demi kemajuan Islam. Namun kenyataannya, apa yang mereka
perjuangkan selau bertolak belakang dari cita Islam. Alih-alih
menengakkan, malah meruntuhkan. Paham yang diasongkan pemuda-pemuda itu
pun, tak jauh-jauh dari sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Menurut
Buya Hamka orang-orang sekuler bukanlah orang yang mempunyai kesadaran
agama. Agama bagi mereka hanyalah iseng belaka.
Lembaran sejarah mencatat, bukan hanya pada zaman transisi Orde Lama
ke Orde Baru saja, paham-paham pemuda itu didengungkan. Soekarno pada
tahun 1930-1940-an beberapa kali menuliskan pengertiannya tentang Islam.
“Islam is progress. Islam itu kemajuan,” katanya. Soekarno
terang-terangan menyodorkan negara sekuler sebagai syarat kemajuan
Islam. Diangkatnya Kemal Attaturk sebagai teladan.[ Islam Sontoloyo:
Pemikiran-Pemikiran Sekitar Pembaruan Pemikiran Islam, Ir. Soekarno Sega
Arsy. 2009. Bandung]
Pendapat ini menuai kritik berbagai tokoh Islam, termasuk Mohammad
Natsir. Mohammad Natsir yang menguasai, tidak saja literatur sarjana
barat yang dipakai Soekarno, tetapi juga mengikuti buku berbahasa Arab,
yang Soekarno hanya tahu judulnya saja, seperti buku Syekh Abdurrazik
yang berjudul Al-Islam wa Usul-ul-hukm. Polemik mereka di media massa
hingga menjadi salah satu polemik yang pantas kita kenang. [M. Natsir.
Sebuah Biografi. Jilid 1, Ajip Rosidi, Girimukti Pasaka. 1990. Jakarta]
Tulisan Soekarno yang terang benderang, membawa sekularisme berjubah
pembaruan Islam ini, mendapat tentangan keras pula dari A. Hassan.
Tulisan Soekarno berjudul ‘Me-muda-kan Pengertian Islam’, mengusung
sekularisme Turki dan banyak mengutip pendapat intelektual sekuler
Turki. Tulisan ini kemudian ditanggapi dengan tegas oleh A. Hassan,
salah seorang tokoh Persatuan Islam (Persis). Menurutnya Soekarno dalam
bicara masalah agama, tidak bisa hanya mengutip pendapat orang-orang dan
memberi contoh kejadian di negara lain, tanpa mengetengahkan dalil. Ia
menasehati, sebaiknya Soekarno jangan hanya mengekor dan mengambing.
[Pembaharuan faham Islam di Indonesia. Dialog Bung Karno – A. Hassan.
Penerbit Sumber Ilmu. 1986. Yogyakarta] Maka ditulislah tanggapan
terhadap Soekarno itu dengan judul menyindir; “Membudakkan Pengertian
Islam”.
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment