Beginilah wajah Amerika dan Barat: Di depan melarang orang melanggar HAM, di belakang justru menjadi pelanggar HAM paling utama
Sesungguhnya wajah Barat soal toleransi, tidak sama antara wajah, lisan dan apa yang ada di hatinya
SERING di antara kita mengucapkan Islam adalah agama cinta damai. Kata-kata ini juga banyak dikutip penganut paham liberal dengan mengatakan “Islam itu agama yang damai, agama cinta, agama yang toleran atau rahmatanlil ‘alamin.”
Kita semua setuju bahwa Islam merupakan agama cinta, agama damai, dan
toleran. Salah satu buktinya adalah sikap Sultan Muhammad Al-Fatih saat
menaklukkan Konstantinopel 1453 M.
Konstantinopel dulunya berada di bawah kekuasaan Byzantium yang
beragama Kristen Ortodoks. Pasca ditaklukkan Sultan Muhammad Al-Fatih,
tepatnya pada abad 10, Konstantinopel diganti menjadi Istambul (Ibu Kota
Turki sekarang). Dulunya, Kontantinopel Kekaisaran Romawi Timur
Konstantinopel dikenal dalam sejarah memiliki benteng legendaris tak
pernah tertembus musuh ini. Namun tahun 1453 M, kota ini akhirnya runtuh
di tangan Sultan Muhammad al-Fatih, sultan ke-7 Turki Utsmani.
Di saat Kontantinopel jatuh dan seluruh masyarakatnya (penganut
Nasrani) dikumpulkan oleh Al-Fatih. Di antara mereka terdiri dari para
wanita, anak-anak, orangtua dan orang yang tidak ikut berperang.
Ada satu hal yang perlu menjadi perhatian masyarakat dunia dalam
peristiwa ini. Di saat Sultan Muhammad Al-Fatih turun dari kudanya dan
memasuki Hagia Sophia, ia menemui umat Kristen yang tidak ikut berperang
dan sedang bersembunyi di dalam gereja. Kala itu, ia mendekati wanita
dan anak-anak yang sedang ketakutan.
“Jangan takut, kita adalah satu bangsa, satu tanah dan satu
nasib.Kalian bebas menjaga agama kalian,” ujarnya dengan ramah dan
disambut gembira umat Kristiani. Kisah menarik ini digambarkan dalam
film “Fetih 1453” karya sutradara Turki, Faruk Aksoy.
Pada hari ditaklukkankan Konstantinonel Sultan Al-Fatih (yang
berjuluk Sultan Mehmed II) hari Selasa 27 Mei 1453 memasuki kota itu,
dan turun dari kudanya kemudian bersujud syukur kepada Allah. Beliau
pergi ke Gereja Hagia Sophia (Aya Sofia, Turki) dan memerintahkan
mengubahnya menjadi masjid. Hari gereja itu lantas diubah menjadi masjid
dan digunakan shalat Jumat.
Selama hampir 500 tahun Hagia Sophia berfungsi sebagai masjid. Patung, salib, dan lukisannya sudah dicopot atau ditutupi cat.
Pada tahun 1937, Mustafa Kemal Atatürk mengubah status Hagia Sophia menjadi museum. Bangunannya dibongkar dan direnovasi.
Sejak saat itu, Gereja Hagia Sophia dijadikan salah satu objek wisata terkenal oleh pemerintah Turki di Istambul.
Sampai hari ini, di dalam Hagia Sophia masih terdapat surat-surat
dari khalifah Utsmaniyah yang berfungsi untuk menjamin, melindungi, dan
memakmurkan warganya ataupun orang asing pembawa suaka. Setidaknya
terdapat sekitar 10.000 sampel surat yang ditujukan maupun yang
dikeluarkan kepada kholifah. Melalui Sultan Muhammad Al-Fatih, umat
Nasrani merasa aman. Kebebasaan keyakinan mereka terjaga.
Hal ini sebagaimana ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam menaklukkan Kota Makkah yang dikenal dengan “Fathu Makkah”.
Saat pasukan Rasulullah sampai di Makkah, diumumkanlah, siapa yang
masuk ke rumahnya dan mengunci pintu, maka dia aman. Siapa yang masuk
masjid (Ka’bah), maka dia aman. Dan siapa saja yang masuk rumah Abu
Sofyan, maka dia aman.
Akhirnya, pasukan Islam di bawah pimpinan Rasulullah Muhammad
memasuki kota Makkah tanpa mendapat perlawanan yang berarti dari para
penduduknya.
Nabi dan semua pasukan menghancurkan patung-patung yang berjumlah
tidak kurang dari 360 buah, baik di dalam atau di luar Ka’bah, lalu
semua umat Islam melakukan thawaf.
Dalam “Fathu Makkah” (Pembukaan Kota Makkah) yang terjadi pada 20
Ramadhan 8 H ini, Rasulullah Muhammad datang bersama 10.000 pasukan
bergerak dari Madinah.
Tanpa beradu pedang dan tanpa meneteskan darah, Rasulullah
membebaskan keyakinan yang dianut masyarakat Makkah yang telah mengusir,
menyakiti dan menyiksa Beliau serta para sahabatnya.
Siapa Intoleran?
Sejarah tersebut sudah cukup menjadi bukti bahwa Islam adalah agama
cinta, agama damai, dan agama toleran. Namun sikap toleran Rasulullah
dan Al-Fatih tidak merubah keyakinan beliau berdua dari urusan akidah
dan tauhid.
Lagi pula, pada dasarnya perang dalam Islam, hanya dilakukan jika
dalam umat Islam dalam keadaan terdesak atau mempertahankan diri dari
serangan atau juga ketika dianiaya/dizolimi. Islam tidak pernah
menggunakan kegiatan perang untuk menyerang umat, tanpa ada alasan
apapun.
Inilah maksud sebenarnya kata “toleransi” dalam Islam; bersikap terbuka dan saling menghargai tanpa merubah Iman.
Hanya saja untuk saat ini, istilah “toleran” dan “tidak toleran”
lebih bermakna untuk kepentingan tertentu. Sebab sering kali kata itu
hanya diarahkan untuk menilai umat Islam saja, sementara umat lain
tidak.
Yang patut menjadi bahan renungan bagi kita, mengapa selalu Islam
yang dipaksa menjadi subjek toleransi dalam beragama? Mengapa tidak
agama lain yang justru sering tidak memahami arti toleransi?
Mengapa banyak umat agama lain membisu ketika jilbab dilarang di
beberapa Negara Eropa? Mengapa banyak yang diam ketika ada pembantaian
dan penjajahan Palestina? Pengusiran ummat Islam di Rohingya dan di
Afrika Tengah? Serta masih banyak perlakuan intoleran umat lain kepada
umat Islam?
Ketika masyarakat Islam marah karena Barat “menghina” Rasulullah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam dengan gambar dan kartun-kartun,
mereka menolak disebut intoleran. Katanya itu adalah kebebasan
berpendapat (freedom of speech).
Sementara jika ada orang mencela dan mengecam kejahatan
Zionisme-Yahudi, Negara Barat dan Eropa bisa menjeratnya dan
menjebloskannya ke penjara karena telah melanggar Undang-undang anti
diskriminasi atau Anti Semit (Anti Yahudi).
Ketika larangan cadar, niqob dilaksanakan di hampir semua Negara
Eropa, mereka beralasan, cadar telah melanggar ketentuan sekularisme.
Tetapi di saat Islam tegas melarang khamr, penyakit-penyakit
sosial seperti lesbian, homoseksual dan sejenisnya, mereka menyebut
Islam intoleran karena melarang Hak Asasi Manusia (HAM) dan melarang hak
orang berekspresi (freedom of expression).
Oleh: Auliya’ El Haq
Oleh: Auliya’ El Haq
Ketika Islam melawan dan mempertahankan hak-haknya yang dizalimi di
Palestina, Afghanistan dan Iraq, Barat secara serentak menyebut para
pejuang sebagai “teroris” dan memberi izin Zionis-Israel melakukan
pelanggaran kemanusiaan dan HAM.
Fakta menunjukkan, ketika umat Islam minoritas di situ tidak ada
toleransi. Sementara ketika umat Islam mayoritas, yang minoritas sering
ngelunjak minta lebih.
Jadi sesungguhnya siapa yang toleran dan siapa yang intoleran?
Penulis alumni PP Al Amin, Prenduan Madura, sekarang berdomisi di Mesir
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment