Bismillahirrahmanirrahim
Akhirnya, Partai Demokrasi Indonesia
(PDI)-Perjuangan telah mengumumkan Joko Widodo (Jokowi) sebagai calon
presiden (Capres) 2014-2019. Tentusaja, berita ini mengabarkan
kegembiraan sebagaian orang (khususnya para pendukung) tapi pastu juga
menghawatirkan sebagaian yang lain.
Ada beberapa pertanyaan menarik terkait pencapresan Jokowi,
setidaknya pernah disampaikan Koordinator Tim Pembela Demokrasi
Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus. Di beberapa media ia menilai
pencapresan Jokowidinilai minus etika atau fatsun politik karena baik
Megawati maupun Jokowi tidak lebih dulu meminta persetujuan rakyat
Jakarta atau DPRD DKI sebelum memberi atau menerima mandat sebagai
Capres.
Jokowi dan Ahok dinilai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta yang dipilih oleh mayoritas pemilih DKI Jakarta untuk menjadi
Gubernur dan Wakil Gubernur DKI periode 2012-2017. Karena itu,
pencalonannya tidak bisa sembarangan tanpa meminta persetujuan warga
DKI.
Menurut Petrus, pasangan Jokowi-Ahok telah didaulat menjadi gubernur
DKI
Jakarta dan kontrak itu harus diselesaikan, tidak bisa ditinggalkan
begitu saja. Jika Jokowi meninggalkan tugas itu sama saja tidak
mendahulukan kepentingan rakyat.
Karena itu menurut Petrus, tindakan Jokowi masuk wanprestasi atau
ingkar janji karena tidak bisa menyelesaikan kontrak politiknya dengan
rakyat. Tentu pernyataan Petrus ada benarnya.
Sebab secara hukum pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur adalah
kontrak politik, kontrak sosial yang bersumber dari dan menjadi
konsensus bersama antara pemilih dengan pasangan calon yang prosesnya
melalui Pilkada di mana waktunya harus selesai selama waktu lima tahun. Sesuai dengan janjinya pada saat kampanye dulu.
Dengan demikian selama lima tahun ke depan (2012-2017) baik
Jokowi-Ahok maupun PDIP-Gerindra harusnya tidak bisa sepihak/seenaknya
mencalonkan diri atau dicalonkan Capres/Cawapres 2014-2019 atau jabatan
lain. Karena itu sama halnya mengabaikan amanah. Orang yang abai
terhadap amanah lawannya adalah khianat.
Jokowi tentu saja orang baik dan reputasinya juga diakui sebagaian
orang. Namun dalam soal khianat dalam urusan amanat soal lain. Jika
semua orang bersikap sebagaimana PDI-P atau Jokowi, bagaimana nasib
bangsa?
Apakah tidak mungkin saat jadi presiden juga bisa ditinggal sewaktu-waktu sebelum masanya habis?
Karena Jokowi itu orang Islam, saya menyampaikan ini dalam pandangan
Islam. Suatu ketika Ali r.a duduk bersama Rasulullah Shallallahu
‘alaihi Wassalam, lalu muncul seorang daripada keluarga al-Aliyah dan
bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Beritahulah kepadaku
apakah sesuatu yang palling berat dalam agama dan apakah yang ringan?”.
Maka jawab Rasulullah: “Yang paling ringan dan mudah adalah mengucap dua
kalimah syahadat,dan yang paling berat ialah amanah. Sesungguhnya tidak
ada agama bagi orang yang tidak amanah.” (Hadis Riwayat al-Bazar
at-Tabrani)
Hadis tersebut menunjukkan betapa beratnya tanggungjawab untuk
melaksanakan amanah, hingga baginda menyatakan tidak ada agama bagi
orang yang tiada amanah.Tanggungjawab amanah itu menjadi serangkai atau
bergandingan dengan agama.
Al-Quran mengatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad), dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS 8:27).
Seterusnya dari Insan r.a katanya: Rasulullah s.a.w bersabda
maksudnya : “Tidak sempurna iman bagi sesiapa yang tiada amanah pada
dirinya dan tiada agama bagi orang yang tidak dipercayai janjinya”.
(Hadis Riwayat Imam Ahmad,al-Bazar at-Tabrani).
Wallahu ‘alam bishowab.
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment