Keadilan yang Terkubur

 

Hukuman 18 tahun penjara yang hadiahkan LHI terkait kasus impor daging sapi nampaknya mulai menemukan titik terang atau kejadian yang sesungguhnya, dimana kasus ini terkesan menyimpang dari murni aspek hukum sebagaimana diprediksi oleh banyak pihak termasuk pencetus dan pengkonsep seluruh aturan KPK yaitu Prof. Romli. Ridwan Saidi juga menegaskan bahwa pengadilian LHI adalah pengadilan palsu yang lebih mengedepankan aspek politis dibandingkan obyektivitas hukumnya. Namun KPK sudah terlanjur hanyut dalam kasus ini, tentu KPK juga tidak ingin kehilangan privasi dan super bodya hanya karena menangnya LHI di suatu saat melalui banding. Artinya KPK sebagai pihak pertama yang menghidupkan dan memamerkan kasus ini harus bersiap siap menerima konsekuensinya secara hukum jika proses banding akan menemui kebenaranya. Atau KPK mencari berbagai alasan untuk tetap menahan 18 tahun LHI sebagaimana kasus awalnya suap impor daging sapi yang tidak terbukti dan beralih ke TPPU.

Bahkan yang lebih ditonjolkan media dalam kasus ini bukan kasus murni hukumnya namun lebih kepada wilayah privat tersangka baik AF dan LHI serta mengarah pada pencitraan negatif PKS, sementara nama nama yang terkait dengan kasus ini dan merekalah AKTOR UTAMANYA tidak tersentuh sama sekali oleh KPK (lokalisasi masalah). Lebih parahnya lagi AF dipaksakan dalam pemebritaan dan opini sebagai kader PKS.

Padahal berdasarkan informasi PPATK kekayaan LHI tidak direduksi dari hasil jabatan dan suap impor daging sapi namun didapatkan dari upaya bisnis yang dilaukan sebelum menjadi anggota dewan dan presiden partai dan sebagian dari hartanya merupakan hasil dari  pemberian mitra mitra bisnisnya.

Jika banyak pihak menentang dan mengkritik KPK karena proses hukum dan cara dalam menangani korupsi cenderung tidak obyektif/tebang pilih (karena ada unsur politis) patut dibenarkan. Artinya secara institusi KPK is ok sebagai pemeberantas korupsi namun secara individu masih ada anggota KPK yang dipengaruhi pihak ketiga dalam mendesain dan mengekspresikan setiap kasus. Mari kita saksikan fakta proses dan fakta hukumnya.

Proses Hukum dan Blunder Fakta

Beberapa waktu yang lalu, setelah vonis Dedy Kusdinar (kasus Hambalang - red) saudara Moh Rozaq Asyhari (Mahasiswa S3 Fakultas Hukum UI ) memposting sebuah grafis yang saya buat untuk menyandingkan dua perkara, yaitu kasus LHI dan DK, seperti ini :

 Instrumen
Lutfi Hasan Ishaq (LHI)
Dedy Kusdinar (DK)

Nilai Kasus
0
2,5, T
Kerugian Negara
0
463 M
Tuntutan Penjara
18 Thn
9 Thn
Tuntutan Denda
1,5M
300 Jt
Vonis Penjara
16 Thn
6 Thn
Vonis Denda
1 M
300 Jt

Berbagai tanggapan muncul, diantaranya menyatakan bahwa “sudahlah LHI sudah divonis janganlah dibela membabi buta”. Sebenarnya yang ingin saudara Moh Rozaq Asyhari sampaikan dalam grafis tersebut adalah konsistensi penerapan hukum, baik pada proses penyidikan, penuntutan maupun peradilan. Dalam logika Moh Rozaq Asyhari, jenis dan berat pidana yang dilakukan seharusnya linier dengan tuntutan yang dibuat serta vonis yang dijatuhkan. Soal putusan hakim “it’s fine” kita hormati proses hukumnya sebagai suatu bentuk kepastian hukum, namun isi tuntutan dan putusan merupakan manifestasi dari keadilan hukum.

Terlepas dari persoalan tersebut, beberapa fakta persidangan semakin meneguhkan adanya kebenaran yang mulai terkuak. Berikut adalah fakta persidangan yang saya dapati, silahkan kita dicermati :

1. Fathanah menjual nama Mentan dan LHI
Hal ini terungkap saat persidangan Elizabet Liman, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Selatan, Selasa (25/3/2014). Fathanah yang memberikan keterangan dibawah sumpah menyampaikan :

“Saya minta duit saya Ibu Elda itu. Saya menjual nama ustatd Luthfi. Akhirnya dikasih Rp1 miliar. Saya terus datang ke Indoguna ambil duit. Tapi bukan sama Ibu Elda (ambilnya), sama Pak Juard dan Arya dan satu lagi saya enggak tahu,“

Menurut Fathanah, uang Rp1,3 miliar itu digunakan untuk membayar biaya interior rumah sebesar Rp550 juta dan cicilan mobil sebesar Rp250 juta :

“Jadi uang itu untuk saya. Untuk saya pribadi. Ibu (Maria) kan banyak duitnya mungkin pak. Jadi saya meminta uang itu menjual nama ustad Luthfi. Itu tidak pernah ada perintah ustad. Berarti itu kan untuk saya pribadi,”

Silahkan dinilai sendiri, saya kira semua sudah dengan lugas bisa memahami arti kalimat tersebut.

Hal Tersebut Sebagaimana Dilangsir Oleh Media:

news.okezone.com/read/2014/03/25/339/960583/fathanah-minta-maaf-ke-bos-indoguna-utama

Sahabat dekat mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fathanah, meminta maaf kepada Direktur Utama PT Indoguna Utama, Maria Elisabeth Liman, terkait kasus pengurusan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian (Kementan).

Fathanah melontarkan permintaan maaf tersebut sebagai jawaban atas tuduhan dirinya menipu Maria.

“Ya minta maaf saja, ya bu ya,” kata Fathanah sambil mengangkat tangannya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Jakarta Selatan, Selasa (25/3/2014).

Fathanah mengaku sengaja menjual nama Luthfi dan Menteri Pertanian (Mentan), Suswono, terkait penambahan kuota impor daging sapi. Tujuannya, kata Fathanah, untuk kepentingan pribadi dengan mendapat uang Rp1,3 miliar dari PT Indoguna Utama.

“Saya minta duit saya Ibu Elda itu. Saya menjual nama ustatd Luthfi. Akhirnya dikasih Rp1 miliar. Saya terus datang ke Indoguna ambil duit. Tapi bukan sama Ibu Elda (ambilnya), sama Pak Juard dan Arya dan satu lagi saya enggak tahu,” ujar Fathanah menegaskan.

Menurut Fathanah, uang Rp1,3 miliar itu digunakan untuk membayar biaya interior rumah sebesar Rp550 juta dan cicilan mobil sebesar Rp250 juta.

“Jadi uang itu untuk saya. Untuk saya pribadi. Ibu (Maria) kan banyak duitnya mungkin pak. Jadi saya meminta uang itu menjual nama ustad Luthfi. Itu tidak pernah ada perintah ustad. Berarti itu kan untuk saya pribadi,” ucap Fathanah.
Mendengar pernyataan itu, Maria menuding Fathanah sebagai penipu. Lantaran telah meminta uang dengan menjual nama Luthfi. “Berarti anda penipu dong?” kata Maria sambil menunjuk Fathanah.

Seperti diketahui, Maria Elisabeth Liman selaku Direktur Utama PT Indoguna Utama didakwa memberikan hadiah serta janji berupa uang sebesar Rp1,3 miliar kepada Luthfi Hasan Ishaaq selaku anggota DPR. Diduga uang itu diberikan sebagai pelicin terkait pengaturan penambahan kuota impor daging sapi di Kementan.

2. Perkara Penipuan
Dengan pengakuan tersebut, sebenarnya perkara ini hanyalah satu sisi, yaitu hubungan antara AF dengan Maria Elizabet Liman. Dimana Fathanah sebenarnya menipu Maria Elizabet dengan mencatut nama LHI dan Mentan. Dengan kata lain, LHI dan Mentan adalah juga korban, dimana namanya dicatut oleh AF.

Mendengar pernyataan itu, Maria menuding Fathanah sebagai penipu. Lantaran telah meminta uang dengan menjual nama Luthfi. “Berarti anda penipu dong?” kata Maria sambil menunjuk Fathanah. “Ya minta maaf saja, ya bu ya,” kata Fathanah sambil mengangkat tangannya.

Oleh karenanya, delik sempurnanya perkara ini adalah 378 KUHP yaitu perkara penipuan. Silahkan dicermati, bila ada yang punya analisa berbeda, sumonggo :)

3. Fatanah Terbukti Memiliki Hutang Ke LHI

Menurut keterangan LHI dalam persidangan serupa yang diberikan dibawah sumpah Fathanah berhutang kepadanya sebesar Rp 2,9 miliar. Dari jumlah tersebut, Fathanah baru bisa membayar Rp 1 miliar. masih menyimpan surat perjanjian pembayaran hutang Fathanah. Menurut Lutfhi uang Rp 1 miliar itu dibayar Fathanah dengan mencicil.
Mendengar pernyataan Lutfhi, Fathanah yang saat itu duduk di sampingnya tampak menahan tawanya. Dia mengakui berhutang dengan Luthfi. Namun, sisa hutang tersebut baru akan dilunasi setelah masa tahanannya dipenjara selama 14 tahun berakhir. “Iya saya masih ada hutang. Nanti 14 tahun lagi saya bayar,” ucap Fathanah.

Dengan demikian terbukti secara meyakinkan bahwa bila ada aliran dana dari AF ke LHI adalah bagian dari pembayaran hutang tersebut. Bahkan tagihan LHI di AF masih ada 2,9 Milyar yang belum terbayarkan.

Hal tersebut juga telah disampaikan AF kepada media 


Mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq menyebut koleganya Ahmad Fathanah berhutang kepadanya sebesar Rp 2,9 miliar. Dari jumlah tersebut, Fathanah baru bisa membayar Rp 1 miliar.

“Memang benar Fathanah masih memiliki hutang pada saya. Baru bayar Rp 1 miliar. Kalau ada yang mau bantu tolong tagihkan untuk saya,” kata Luthfi saat bersaksi bersama Fathanah dalam sidang bos Indoguna Utama Maria Elizabeth Liman, di pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (25/3/2014).

Luthfi mengaku ia masih menyimpan surat perjanjian pembayaran hutang Fathanah. Menurut Lutfhi uang Rp 1 miliar itu dibayar Fathanah dengan mencicil. Mendengar pernyataan Lutfhi, Fathanah yang saat itu duduk di sampingnya tampak menahan tawanya. Dia mengakui berhutang dengan Fathanah. Namun, sisa hutang tersebut baru akan dilunasi setelah masa tahanannya di penjara selama 14 tahun berakhir.

“Iya saya masih ada hutang. Nanti 14 tahun lagi saya bayar,” ucap Fathanah. Lutfhi sendiri menanggapi datar pernyataan Fathanah tersebut.

Luthfi memang sudah mengenal Fathanah sejak tahun 1985. Keduanya sama-sama sekolah di Arab Saudi. Sekitar 2004, Luthfi dan Fathanah pernah bekerja sama mendirikan PT Atlas Jaringan Sejahtera. Fathanah sejak saat itu sering meminjam uang pada Luthfi. Tak jarang Fathanah baru bisa membayarnya dalam waktu lama. Fathanah biasa membayar utangnya padda Luthfi secara bertahap. Nominalnya bervariasi. Cicilan yang dibayarkan sekitar Rp 20 juta, Rp 50 juta, Rp 100 juta, hingga Rp 200 juta.

Mari kita saksikan episode proses hukum berikutnya. Harapanya proses penegakkan hukum di Indonesia melalui KPK benar benar jujur dan adil bukan hanya berani. Jika dalam proses hukum berikutnya LHI menang dan dinyatakan bebas, maka tidak ada yang salah dalam hal ini kecuali KPK yang ceroboh dan tidak cermat didalam bekerja. Hukuman dan tangan Tuhan pasti bergerak dan kebenaran akan mencari jalanya sendiri walaupun seluruh upaya untuk menguburnya dilakukan.
Tidak akan pernah tegak hukum jika didasari atas kebencian.

http://hukum.kompasiana.com/2014/03/29/lhi-pantas-dihukum-18-tahun-642662.html

posted by @Dd
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment