SESEORANG tidak akan bisa melakukan dengan benar
beragam perbuatan wajib, menjauhi perbuatan haram, kemaksiatan,
melaksanakan amalan-amalan sunnah, kecuali dengan dasar ilmu. Ilmu
menjadi landasan seseorang untuk melaksanakan kewajiban, meninggalkan
larangan dan menjauhi kemaksiatan sekaligus mengupayakan mengerjakan
sunnah-sunnah dimana semua itu dapat mendekatkan diri kepada Allah
Subhanahu Wata’ala.
Itulah sebabnya, mencari ilmu merupakan sebuah kewajiban. Tidak boleh
dipandang sebelah mata, diremehkan atau tidak diacuhkan, sebagaimana
yang disabdakan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam:
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِم
“Mencari ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah).
Mengapa wajib? Imam Abdullah menjawab, “Dengan ilmu kita bisa
mengetahui bahwa yang wajib adalah wajib, yang sunnah adalah sunnah,
yang haram adalah haram. Tidah hanya itu, selain mengetahui hukum tiap
perbuatan, seseorang dapat menunaikan tugas-tugasnya sebagai hamba Allah
Subhanahu Wata’ala dengan sebaik-baiknya, karena didasari ilmu.”
Dengan demkian, dimanapun seorang muslim berada ia wajib mencari dan
mengamalkan ilmu. Tidak mudah puas dengan sedikit ilmu. Ia harus selalu
merasa haus. Ilmu merupakan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Pentingnya mencari ilmu tercermin dalam analogi mengendarai
kendaraan. Seseorang yang hendak mengendarai kendaraannya haruslah
memiliki kecakapan, meliputi cakap dalam memahami masing-masing fungsi
dalam kendaraan, mengetahui rambu-rambu lalu-lintas, sehingga bisa
mengendarai dengan aman dan selamat. Aman untuk dirinya dan aman untuk
orang lain. Tidak sampai menyelakakan diri sendiri lebih-lebih diri
orang lain.
Demikian halnya dengan ilmu seputar amal ibadah. Ia wajib melengkapi
diri dengan ‘pelindung’ yang namanya ilmu sehingga tidak salah dalam
beramal, tidak salah dalam beribadah. Tanpa ilmu dikhawatirkan ia salah
beribadah, salah dalam melaksanakan kewajiban. Kesalahan dalam
melaksanakan hal-hal yang wajib sama dengan meninggalkan kewajiban.
Tidak sah karena tidak dikerjakan sesuai aturan yang sudah ditentukan
dalam Islam. Ketika seseorang hanya mengetahui bahwa salat dzuhur 4
takaat, ia salat tanpa tahu kapan pelaksanaannya. Ia terjerumus dalam
kesalahan fatal. Ia laksankan salat dzuhur pukul 10 pagi, di luar
ketentuan waktu yang ditetapkan.
Tanpa ilmu seseorang hanya menduga-duga dalam melakukan perbuatan. Ia
menduga telah melakukan kebaikan padahal kemaksiatan. Ia menduga telah
menjauhi kemaksiatan padahal ia masih berkubang di dalamnya. Contoh yang
sering terjadi ketika seorang wanita tidak bisa membedakan antara darah
haid dan istihadha. Hanya dengan dugaan telah keluar darah haidh
padahal istihadhah, ia tidak salat, tidak puasa dan sebagainya.
Sebaliknya, menduga darah istihadhah padahal haidh, ia salat, puasa,
membaca al-Quran.
Karena itu, syariat yang telah diajarkan oleh Allah Subhanahu
Wata’ala dan Rasulullah harus dipelajari agar menjadi ilmu yang
mendasari setiap perbuatan. Alasan usia sudah menua atau alasan sibuk
tidak dapat menjadi pembenaran untuk tidak mencari ilmu. Selama hayat
masih dikandung badan maka kewajiban mencari ilmu tetap melekat. Usia
bukan halangan dalam mencari ilmu, sama halnya dengan kesibukan. Tidak
ada alasan yang bisa menjadi alat membenarkan sikap seseorang untuk
lalai menyari ilmu.
Bahaya Amal Tanpa Ilmu
Seseorang yang beribadah tanpa ilmu akan lebih banyak menuai mudharat
daripada manfaat. Manfaatnya sedikit justru mudharatnya lebih banyak.
Itulah kenyataan yang akan dihadapi oleh setiap pengamal tanpa ilmu. Nol
besar. Tidak ada nilainya.
Nihil pahala dan keutamaan di sisi Allah Subhanahu Wata’ala. Oleh
karenanya, jangan mencoba-coba beramal dengan ketidaktahuan. Sama halnya
orang yang sakit meminum sembarang obat. Tidak cocok dengan satu obat
beralih ke obat berikutnya. Hasilnya, bukan kesembuhan tapi malapetaka
yang berujung maut.
Tidak sedikit seseorang yang memandang bahwa dirinya melakukan suatu
ketaatan padahal sedang bermaksiat. Memandang suatu kemaksiatan bukan
sebagai kemaksiatan. Dalam kasus Maulid, misalnya. Sebagian orang
mengadakan kegiatan Maulid tidak sesuai dengan cara yang benar.
Bermaulid tapi dilakukan dengan hura-hura, menghamburkan biaya dalam
jumlah yang tidak wajar untuk membeli mercon, kembang api. Dalihnya
untuk syiar.
Padahal di sekelilingnya masih banyak orang yang membutuhkan. Atau
bermaulid tapi dengan dangdutan, campur laki dan perempuan. Bermaulid
ada tata caranya. Bukan sesuka hati. Bukan dengan hawa nafsu sesuai
keinginan diri sendiri. Inilah sedikit contoh yang salah dalam
mengungkapkan mahabbah (kecintaan) kepada Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alaihi Wassalam. Hal di atas terjadi karena orang-orang
yang terlibat di dalamnya tidak dibekali dengan ilmu. Akibatnya,
menyangka telah berbuat kebajikan namun yang didapat justru sebaliknya.
Berharap dapat syafaat tapi yang didapat justru ketidakrelaan atas apa
yang sudah dikerjakan.
Alkisah, di negeri Maroko pernah hidup seorang ahli ibadah yang
dikenal oleh masyarakat sekitarnya sebagai orang shalih. Siang-malam ia
isi dengan ibadah. Hari-harinya ia hiasi dengan kegiatan ibadah kepada
Allah Subhanahu Wata’ala. Suatu hari ia membeli seekor keledai betina.
Anehnya keledai itu tidak ia gunakan sama sekali. Hal ini membuat
seorang tetangganya diliputi rasa penasaran, “Tuan, mengapa keledainya
tidak dimanfaatkan?” Dijawab oleh si ahli ibadah ini, “Memang, aku hanya
memanfaatkannya untuk memuaskan nafsu birahiku.” Setelah diusut,
ternyata si ahli ibadah ini betul-betul tidak tahu soal larangan keras
menyetubuhi hewan. Ketika ia diberi tahu soal hukum menyetubuhi hewan,
ia menangis sejadi-jadinya.
Oleh karena itu, setiap muslim wajib memiliki ilmu. Syukur jika ilmu
yang telah ia miliki bermanfaat bagi orang lain. Ia ajarkan dan sebarkan
kepada sesamanya. Bermanfaat bagi diri sendiri sekaligus bagi umat.
Dikatakan, “Barangsiapa memiliki ilmu, lalu ia amalkan dan ajarkan, ia
akan dikenal oleh para penduduk langit.” Allah Subhanahu Wata’ala
berfirman:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Allah Subhanahu Wata’ala akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan
beberapa derajat. Allah Subhanahu Wata’ala Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (Qs. al-Mujadilah [58] : 11).
Abdullah bin Abbas RA mengatakan orang yang memiliki ilmu dibanding
orang yang tidak memilikinya, perbandingannya 700 derajat. Derajat
pertama ke derajat kedua menempuh perjalan 500 tahun lamanya.
Betapa mulia orang yang berilmu yang ilmunya bemanfaat. Di dunia dan
di akhirat ia hidup mulia mendapat kedudukan terhormat di sisi Allah
Subhanahu Wata’ala. Dalam ayat lain Allah Subhanahu Wata’ala berfirman:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاء اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ
الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ
يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُوْلُوا
الْأَلْبَابِ
“Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan
orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakAllah
Subhanahu Wata’ala yang dapat menerima pelajaran.” (Qs. az-Zumar [39] : 9).
Bunyi ayat ini bukan pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Ayat ini
merupakan sindiran bahwa tidak ada kesamaan posisi orang yang berilmu
dengan orang yang jahil. Wali songo yang telah wafat ribuan tahun silam
masih seperti orang hidup. Peziarahnya banyak di setiap saat. Ini
terjadi berkat ilmu yang mereka miliki. Memang sangat beda antara orang
yang berilmu dengan yang tidak.
Karena itu, semangat mencari ilmu merupakan tanda kesuksesan. Mencari
ilmu di sepanjang waktu. Tidak ada perasaan lelah. Selalu haus dalam
mendulang ilmu dalam segala kondisi. Maka, mari kita siapkan anak-anak
kita menjadi sosok berilmu. Cakap dalam membaca al-Quran, mengetahui
tata cara ibadah yang sebenarnya, menghafal hadits, paham fiqih dan
ilmu-ilmu agama lainnya. Sejak dini, buat program pengentasan kejahilan
dari setiap anggota keluarga dalam urusan agama. Jadikan ilmu sebagai
hal pertama di setiap langkah. Rasulullah bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
“Barangsiapa dikehendaki kebaikan oleh Allah Subhanahu Wata’ala, Dia berikan pemahaman tentang urusan agamanya.” (HR. Bukhari-Muslim).*
Pengajar di Pesantren Darut Tauhid, Kota MalangOleh: Ali Akbar bin Aqil
posted by @Dd
0 comments:
Post a Comment