Ganjilnya Kemenangan




Untuk menghilangkan perasaan yang menekan di hati, murid-murid Imam Ahmad bin Hanbal bertanya kepada gurunya : " bagaimana pandanganmu tentang kebathilan apakah ia akan menang atas kita?". singkat dan tegas beliau menjawab :" tidak, selama kebenaran bertahta di hati kita".

Usai menyaksikan hasil perolehan suara, seorang kader partai islam mengangkat telpon. ia tumpahkan persaan lukanya kepada sahabatnya dengan isak tangis tak tertahan
" kita sudah bekerja sungguh-sungguh siang malam tetapi kita tetap kalah"

Ketika kampanye dulu ia telah mencetak jilbab dan sprai putihnya jadi bendera partai, karena ia dan partainya tak cukup punya dana. jangankan untuk serangan fajar atau membeli suara, pemimpinnyapun harus membeli pin partai dengan uang kantong sendiri. Padahal pemilu disebagian besar rakyat difahami sebagai bagi-bagi kaos, naik di kap mobil saat kampanye, bagi-bagi sembako dan uang fajar hari pencoblosan.
"sampaikan kepada semua sahabatmu sesungguhnya kalian tak kalah, da`wah ini milik Allah dan Allah takkan pernah kalah [12/21], suara tegas sang sahabat menjawab keluh kesah temannya : " karena kalian tak mendustai rakyat , kalianlah pemenang. karena lalai tak bemoney politic, kalianlah pemenang. karena kalian melangkan bukan karena dendam, kalianlah pemenang. kita telah [belajar] berpolitik dengan landasan IMAN dan MORAL , kita telah memberikan pendidikan politik terbaik keapada rakyat, kita menang". tambahnya bersemangat sambil tak lupa menyebutkan mereka masih belum berjaya untuk menjadi "partai sirkus"

"Ya, tapi kami bukan lagi sedih karena kalah--oh, maaf " ia koreksi ungkapan kalah itu secepat otaknya yang cerdas itu bergerak :" tapi, karena belum mendapatkan perolehan optimal, dan yang membuat resah, si pemenang adalah mereka yang kentara akan mengulangi arogansi dan keberingasan pendahulunya dengan nama lain. Mereka akan mengembalikan kediktatoran minoritas atas mayoritas muslim yang tertindas" suaranya terdengar lebih mantap.

itulah tantangan yang harus dihadapi. dan siapa yang bisa meyakinkan bahwa tantangan hari ini tak lebih besar daripada yang dihadapi salafussalih atau sebaliknya? yang jelas kemenangan sejati itu selalu ada ketika kita senantiasa berada bersama Al-Haq, walau sendirian. bila ada`satu orang mendapat hidayah karena da`wah kita, itu kemenangan lebih besar dari sekadar dunia dan segala isinya. Saat Allah menyebut "keberuntungan yang besar" [61/12] yang dimaksud adalah sorga dan ampunanNya dan itu hanya didapat oleh mereka yang terpanggil lebih dulu alias syahid.

Jadi kemana perginya namrud, fir`aun, ashhabul ukhdud, kaum `aad dan tsamud serta pemenang dungu lainnya? mungkin itu sukar difahami.

Untuk kongkretnya perlu contoh. suatu kali Rasulullah bertanya :" siapa yang berani membaca surah arrahman di ka`bah?". ternyata Abdullah bin Mas`ud tampil. Para sahabat yang lain menasihatinya agar urung melakukannya karena ia tak punya keluarga yang akan melindunginya. Benar saja Abdullah dikeroyok kafir quraisy, ia pingsan wajahnya lebam.

Pertanyaanya, apa sebabnya Rasululllah membuat pertanyaan yang memotivasi tindakan Abdullah bin Mas`ud? tentu jawabannya bukan sekedar untuk jadi hero dan menanti pahala besar dengan babak belur. Tapi untuk apa? untuk mengatakan bahwa babak belur ibnu Mas`ud itu adalah sebuah kemenangan? maafkan mereka yang belum berani mengatakan apa yang dilakukan sahabat mulia itu tidak sia-sia.

Ruh seperti itulah yang membuat Abdullah ibn Zubair mendatangi ibunya Asma`binti Abi Bakr Ash-shiddiq ra.. "apa yang harus saya lakukan terhadap rezim yang korup dan refresif?" tanyanya. "apakah posisimu dipihak yang benar?" ibunya balik bertanya. "Ya" jawan Abdullah "kalau begitu hiduplah mulia atau matilah syahid". tegas ibunya. 

Akhirnya gubernur Hajjaj yang tirani membunuhnya. Jenazah Abdullah bin Zubair di salib dibatang kurma tanpa seorangpun yang berani menurunkannya. Asma` yang renta dan buta datang, ia perintahkan hajjaj menurunkan janazah anaknya yang mulai mengering.. suaranya berwibawa :" penumpah darah itu adalah engkau" kata Asma` seraya menggendong jasad berbau harum itu. hajjaj kecut..

Inilah sudut pandang tentang kemenangan yang dilupakan oleh sebagian orang. kemeangan hakiki, kemenangan paling dibenci tiran..

Ketika Sa`id ibn Jubair tak punya lagi ruang gerak untuk berda`wah, ia berurusan dengan hajjaj. tampaknya Sa`id siap dieksekusi. Saat algojo menyiapkan pedang pancungnya, Sa`id mengarahkan wajahnya ke ka`bah, khusyu` dalam shalat dan doa " aku hadapkan wajahku kepada yang telah mencipta langit dan bumi [6/162], hajjaj tersinggung " balikkan wajahnya kemana saja asal tidak ke ka`bah" pekiknya keras. algojo memalingkan wajah Sa`id. Sa`id membaca ayat :" katakanlah, milik Allah timur dan barat, kemanapun kalian menghadap disana Wajah Allah [2/115]" kemurkaan hajjaj memuncak, ia menyuruh Sa`id ditelungkupkan, sekali lagi dengan lancar Sa`id berucap :" dari tanah Kami ciptakan kamu, kedalam tanah Kami kembalikan kamu dan dari tanah liat pula Kami akan keluarkan kamu suatu saat yang lain" [20/55]

Itulah Sa`id ibn Jubair, ia ahli zikir yang konsisiten dengan zikirnya :" barang siapa menaati Allah maka ia telah berzikir padaNya, dan siapa yang menentangnya maka itu bukan pezikir, sekalipun sepanjang malam ia bertasbih"

Gambaran "GANJIL" kemenangan diatas akan menjadi lengkap bila merujuk entri untung dan rugi di kamus da`wah para da`i. Shuhaib Arrumi pernah diharuskan oleh kafir quraisy menetap di Makkah atau menyusul Rasulullah hijrah ke Madinah tanpa harta sedikitpun. Shuhaib memilih hijrah. Madinah gempar, kok mau-maunya seorang jutawan rela "bangkrut" dijarah kafir quraisy hanya utk bisa hijrah. Rasulullah segera melururuskan pandangan umum itu dengan sabdanya :" Rabiha Shuhaib, rabiha Shuhaib, Shuhaib beruntung, Shuhaib beruntung!"

Ibarat puisi, sabda Rasulullah tentang kemenangan itu seperti syair Iqbal yang sudah hampir tiga perempat abad bersabar menunggu difahami telinga zaman. kini mungkin perlu "penyair" lain untuk mewujudkannya agar bisa dilihat zaman

Aku tak inginkan telinga zaman sekarang
Aku suara penyair dunia yang akan datang
Zamanku tak faham kedalaman makna sajakku
Yusufku tak mau dijual di pasar ini....
Thursinaku menyala bagi Musa yang akan datang
Laut mereka tenang tak beriak, bagai embun
Tapi embunku gelisah seperti angin bertopan

posted by Dd
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment