Luka dan Maaf







Sering kita mendengar kata maaf. Bahkan mungkin bukan hanya mendengar, namun kita juga sering mengucapkannya. Terlalu sering bahkan. Seseorang  pernah mengatakan bahwa, kata maaf itu tidak dapat menyembuhkan luka. Ia hanya dapat digunakan untuk memperbaiki hubungan di masa depan, setelah  rusaknya hubungan karena penorehan luka tersebut. Jika memang demikian halnya, maka kita perlu berpikir beribu-ribu kali sebelum melakukan sesuatu kepada orang lain. Karena jika luka itu sudah tertoreh, kata maaf tidak akan pernah bisa membuat luka itu hilang tak berbekas. Bagian yang terluka itu tak kan pernah bisa kembali utuh seperti sebelumnya. Ibarat gelas yang retak. Mungkin tidak pecah atau terbelah,  namun tetap saja retak itu tak bisa dihilangkan.
Ada orang yang terlalu sering menggunakan kata maaf, yang sebenarnya mungkin lebih ditujukan kepada dirinya sendiri—sebagai ‘excuse’—daripada ditujukan kepada orang yang tersakiti olehnya. Saking seringnya mengumbar kata ‘maaf’, mungkin ia sendiri sudah tidak merasakan lagi esensi dari kata ‘maaf’ itu sendiri. Menyedihkan.
Pada sebagian yang lain, kata maaf justru sangat sulit untuk dikatakan. Mereka berusaha untuk menyembuhkan luka yang telah ditorehkannya pada orang lain—baik disengaja ataupun tidak—dengan melakukan berbagai cara, kecuali menggunakan kata maaf. Padahal, hal seperti ini hanya mempertontonkan betapa angkuh dan lemahnya mereka. Kasihan.
Sebagai kontemplasi, alangkah baiknya jika kita bisa mengambil ibrah dari peristiwa terbunuhnya Hamzah bin Abdul Mutthalib, paman Rasulullah saw.  Peristiwa yang telah menorehkan luka mendalam pada diri Rasul yang mulia itu. Saat itu, Rasulullah membuka kedua matanya yang penuh dengan air yang berkilat-kilat laksana kaca. Mata beliau tertuju pada tubuh pamannya, dan berkata “Tak pernah aku menderita musibah seperti yang kuderita dengan peristiwa dirimu sekarang ini… Dan tidak ada satu suasana pun yang lebih menyakitkan hatiku seperti suasana sekarang ini…!”
Rasakanlah betapa sakitnya luka itu. Luka yang telah ditorehkan oleh seorang Wahsyi. Pada Rasul Allah. Namun, sebelum Rasulullah saw menuntut balas akan hal itu, turunlah wahyu dari Allah SWT:
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (Qs. An-Nahl: 125-128).
Lalu, dengarlah kata-kata yang diucapkan Rasulullah saw saat bertemu Wahsyi beberapa waktu setelah peristiwa itu. “Apakah kamu ini Wahsyi?” Wahsyi menjawab, “Benar, Ya Rasulullah.” Lalu beliau berkata “Ceritakan kepadaku bagaimana kamu membunuh Hamzah.” Maka setelah Wahsyi menceritakannya, Rasulullah saw bersabda “Sangat menyesal… Sebaiknya kamu menghindarkan perjumpaan denganku.”
Maka sejak saat itu, sampai Rasulullah saw wafat, Wahsyi selalu menghindarkan diri dari hadapan dan jalan yang akan ditempuh oleh Rasulullah saw agar tidak kelihatan oleh beliau. Rasulullah saw bukanlah menaruh dendam pada Wahsyi dengan permintaannya itu, namun beliau hanya menjaga diri dari bersedih hati dan ‘bersempit dada’, serta berusaha ‘menetapi kesabaran’, dengan pertolongan Allah. Sementara itu, Wahsyi pun benar-benar menunjukkan rasa penyesalannya dengan tidak hanya sekedar mengucapkan kata ‘maaf’ kepada Rasulullah saw, namun ia juga berusaha untuk ‘mencegah’ terbukanya kembali luka yang pernah tertoreh pada diri Rasulullah saw itu.
Sebagai kontemplasi akhir, di dalam Al-Qur’an Surat An-Nuur ayat 22 Allah SWT berfirman:
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”* (NH)
*Ayat ini berhubungan dengan sumpah Abu Bakar r.a. bahwa dia tidak akan memberi apa-apa kepada kerabatnya ataupun orang lain yang terlibat dalam menyiarkan berita bohong (haditsul ifki) tentang diri 'Aisyah. Maka turunlah ayat ini melarang beliau melaksanakan sumpahnya itu dan menyuruh mema'afkan dan berlapang dada terhadap mereka sesudah mendapat hukuman atas perbuatan mereka itu.


Hasanah

posted by Adimin
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment