MISI DAKWAH KITA: PERUBAHAN DAN PERBAIKAN

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

بسم الله، الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه ووالاه، أما بعد:

Urgensi Dakwah

Dakwah adalah ajakan seorang Muslim kepada orang lain, baik sesama Muslim maupun non-Muslim, untuk mengikuti perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-larangan-Nya sebagaimana firman-Nya,

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (Q.S. An-Nahl: 125).

Dakwah adalah sesuatu yang melekat pada diri Muslim sehingga tidak ada alasan sedikit pun bagi seseorang, yang bahkan hanya memiliki sedikit pengetahuan yang benar dan bermanfaat, untuk menghindar dari tugas-tugas dakwah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat.” (H.R Bukhari).

Dakwah dapat dilakukan dengan lisan, tulisan, perbuatan, atau sikap keteladanan. Dakwah juga dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau berkelompok, melalui organisasi sosial, partai politik, dan organisasi negara. Dakwah dapat dilakukan kepada keluarga sendiri, orang-orang di dalam negeri, di luar negeri, dan yang terpenting terhadap diri sendiri. Sedemikian luasnya arti komitmen kepada dakwah, sampai-sampai Rasulullah SAW merumuskan esensi Islam dari aspek ini. Sabdanya, “Agama adalah nasihat.” Ibnu Aus dan para sahabat bertanya, “Bagi siapa ya Rasulullah?” Jawab Rasulullah SAW, “Bagi Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, bagi para pemuka muslimin serta rakyat mereka.” (H.R Muslim). Jabir bin Abdullah RA berkata, “Aku berbaiat kepada Rasulullah SAW untuk tetap shalat, membayar zakat dan memberi nasihat kepada setiap orang Islam.” (H.R Bukhari dan Muslim).

Pahala orang berdakwah demikian besarnya dan tak dapat ditimbang dengan ukuran-ukuran material sehingga yang menjadi ukuran keberhasilan dakwah adalah upayanya itu sendiri serta hidayah orang-orang yang mau menerimanya. Berjihad adalah dakwah, tetapi berjihad bukanlah untuk mengharapkan ghanimah, meski pengorbanan harta telah demikian besar dikeluarkan. Ali bin Abi Thalib RA yang diamanahi memimpin Perang Khaibar ketika menerima panji-panji bertanya kepada Rasulullah SAW, “Ya, apakah mereka langsung diperangi sampai mau (masuk Islam) seperti kami?”

Rasulullah SAW bersabda, “Berlaku tenanglah sampai di kawasan mereka, lalu dakwahilah mereka kepada Islam dan kabarkanlah kepada mereka hal-hal yang wajib mereka lakukan atas hak-hak Allah. Demi Allah, jika Allah menunjuki seseorang lewat dakwahmu, maka yang demikian itu lebih baik bagimu, melebihi hasil ghanimah besar yang terdiri dari hewan ternak terbaik.” (H.R Bukhari dan Muslim).

Perubahan ke arah perbaikan: Esensi hasil dakwah

Perubahan adalah tema utama dari proses yang dikelola dalam kerja-kerja dakwah, sebagaimana firman Allah SWT,

“…Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga mereka merubah keadaan pada diri mereka sendiri.” (Q.S. Ar-Ra’d: 11). Perubahan yang terjadi pada suatu masyarakat atau negara tidak terlepas dari perubahan yang terjadi pada individu-individu, sehingga dakwah Islam adalah dakwah yang ditujukan kepada hati-hati dari individu itu.

Tidak sekadar perubahan-perubahan yang bersifat permukaan, sedangkan inti di dalamnya tidak terjadi perubahan apa pun. Perubahan yang hakiki itulah yang dicari dalam dakwah Islam. Kedatangan Ali bin Abi Thalib RA ke Khaibar bukanlah sekadar untuk mengubah agama mereka sehingga mereka memeluk agama Islam dengan terpaksa dan penuh ketakutan. Namun, Rasulullah SAW memerintahkan lebih dahulu untuk memberikan pengertian kepada mereka sehingga perubahan yang hakiki diharapkan terjadi.

Perubahan yang semu bukanlah sebuah fenomena yang menjadi target dalam dakwah, sebagaimana yang digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya,

Orang-orang Arab badwi itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’ karena iman itu belum lagi masuk ke dalam hati kamu. Dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya Dia tidak akan mengurangi sedikit pun (pahala) amalan kamu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. Al- Hujurat: 14).

Dalam kaitan mengukur terjadinya perubahan ini, agar tidak terjebak ke dalam fatamorgana perubahan, seorang dai harus sungguh-sungguh memiliki pengetahuan tentang indikator-indikator perubahan yang benar. Dengan bekal ini ia tidak akan merasa puas dengan hasil dakwah yang sesungguhnya masih jauh dari selesai dan dia tidak akan beristirahat karena menganggap tidak ada lagi pekerjaan-pekerjaan dakwah yang harus dilakukannya, padahal sebenarnya ia belum melakukan sesuatu yang fundamental.

Inilah yang terjadi pada para sahabat Anshar ketika setelah mengikuti serangkaian perang yang panjang bersama Rasulullah SAW dan agama Islam telah tersebar kemana-mana, mereka berkata, “Alhamdulillah, kami telah dimuliakan Allah dengan Islam dan bersahabat dengan Nabi-Nya serta membelanya sehingga tersebar dan banyak pengikutnya. Sedangkan kami telah lama meninggalkan sawah ladang kami dan kini peperangan telah selesai, maka lebih baik kami kembali mengurus kebun ladang kami dan tinggal bersama keluarga kami.” Maka turunlah ayat 195 Surat Al-Baqarah, “Dan berinfaklah kalian di jalan Allah dan janganlah menjerumuskan diri kamu ke dalam kebinasaan. Dan berbuat baiklah kalian, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik” (HR Abu Daud, Tirmidzi, dan An-Nasai).

Ayat itu seolah-olah ingin menegaskan kembali pemahaman orang-orang Anshar, “Wahai orang-orang Anshar, memang kalian telah begitu banyak berkorban harta dan jiwa demi perjuangan Islam. Memang peperangan-peperangan kini telah bertukar haluan dengan kemenangan-kemenangan yang diraih. Memang telah begitu banyak manusia yang dengan sukarela atau terpaksa memasuki agama Islam ini. Memang untuk semua itu kalian telah meninggalkan sawah ladang dan keluarga kalian. Tetapi ingat, semua itu bukanlah ukuran-ukuran keberhasilan yang hakiki yang menandakan perjuangan dakwah telah selesai karena misi yang lebih besar telah menanti di hadapan kalian.

Dikaitkan dengan kondisi Indonesia saat ini, maka adalah keliru jika ada yang beranggapan bahwa dengan jatuhnya Soeharto dan rezim Orde Baru maka kondisinya berarti telah berubah secara hakiki. Jangankan dikaitkan dengan tujuan-tujuan dakwah Islam yang begitu tinggi, dikaitkan dengan proyek reformasi saja umumnya pengamat berpendapat hanya sedikit perubahan yang telah terjadi.

Jiwa-jiwa yang korup dan otoriter masih bergentayangan di berbagai tubuh manusia dan organisasi yang hidup pasca 21 Mei 1998. Bahkan, tokoh-tokoh baru yang muncul pada masa ini, baik di kalangan pemerintahan maupun legislatif, justru tidak sedikit yang malah ketularan virus Orde Baru sehingga tingkat korupsi Indonesia justru semakin parah di tingkat dunia dibandingkan zaman Orde Baru dahulu. Sungguh, perjalanan dakwah di Indonesia masih panjang dan barangkali kita baru bergerak belum setengah langkah pun.

Stagnasi : ciri kelemahan iman

Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang melihat kemunkaran maka ubahlah kemunkaran itu dengan tanganmu. Apabila tidak mampu maka dengan lisannya. Apabila tidak mampu juga maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemah iman.” (H.R. Muslim, An-Nasai, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad). Sabda Rasulullah SAW tersebut jelas memberikan salah satu ciri tentang kekuatan iman kaum muslimin, baik sebagai individu maupun sebagai umat, yakni pada keinginan dan kemampuannya untuk melakukan sebuah perubahan. Orang Muslim yang perasaannya tidak senang melihat kemunkaran tetapi hanya mampu menonton kemunkaran tersebut tanpa melakukan langkah apa pun, maka ia dijuluki orang yang selemah-lemah iman.

Hadits di atas juga menunjukkan bahwa pada dasarnya perubahan harus dilakukan dalam situasi tujuan-tujuan dakwah pada suatu tahapan belum tercapai. Adapun mengenai cara-cara yang dilakukan dalam proses perubahan itu pada akhirnya disesuaikan dengan kondisi-kondisi yang menyertainya dalam kaitan kemampuan maupun tahapan-tahapan dakwah yang sedang dilakukannya. Dalam kaitan inilah kita berurusan dengan sebuah fenomena dakwah: dakwah dengan hati. Sebuah fenomena kelemahan iman!

Mengapa kemampuan dihubungkan dengan iman? Karena sesungguhnya keimananlah yang menjadi motivator utama perubahan pada diri seseorang. Keimanan yang kuat akan melahirkan keyakinan, semangat, kesungguh-sungguhan, dan ketekunan dalam berdakwah. Memang Rasulullah SAW pada periode Makkiyah hanya dapat menatap sedih Bilal yang tengah disiksa orang-orang kafir atau Ammar bin Yasir yang menyerah lantaran kedua orang tuanya disiksa dengan bengis. Tetapi ini bukan cerminan kelemahan iman karena keimanan Rasulullah SAW demikian kuat, demikian pula para sahabat beliau. Kekuatan iman itu tengah bekerja dan terus bekerja yang secara bertahap menghasilkan kekuatan demi kekuatan sehingga pada akhirnya tak terkalahkan lagi oleh orang-orang kafir Quraisy.

Iman yang lemah tidak akan memproses kekuatan apa pun, dan jika pun memproses kekuatan maka hanya sebuah percikan kecil yang sangat lambat berkembang menjadi kobaran api kekuatan. Kita akan menyaksikan orang-orang yang lemah imannya maka tahapan perjuangannya akan terus-menerus melalui hati dari waktu ke waktu, dari masa ke masa, dari generasi ke generasi, tanpa ada kemajuan apapun. Bahkan, ia tidak memiliki perencanaan dan kemauan apapun untuk mengubahnya menjadi dakwah dengan lisan atau dengan tangannya. Inilah stagnasi iman yang apabila terjadi akan menyebabkan terjadinya stagnasi perubahan pada diri dan lingkungan kaum muslimin.

Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mati dalam keadaan tidak pernah berperang (berjuang) atau tidak pernah meniatkan pada dirinya sendiri (untuk berperang/berjuang) maka dia mati di atas satu cabang kemunafikan.” (H.R Muslim, An-Nasai dan Abu Daud). Jika niat untuk melakukan perubahan saja tidak ada niscaya orang seperti itu hanya akan menjadi penonton atas berbagai fenomena kezhaliman di sekitarnya. Dan diamnya tidak saja sekadar menunjukkan kelemahan iman, bahkan mungkin menunjukkan ketiadaan iman sama sekali.

Keadaan mereka seperti yang digambarkan Al-Qur’an, “Orang-orang Badwi yang tertinggal (tidak turut ke Hudaibiyah) akan mengatakan,

“Harta dan keluarga kami telah menyibukkan kami, maka mohonkanlah ampunan bagi kami.” Mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya ….” (Q.S. 48/Al-Fath: 11).

Insya Allah, hal ini tidak terjadi pada aktivis dakwah kita.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُوْا اللهَ لِيْ وَلَكُمْ - والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment