Budaya Buku dan Peradaban Ilmu



Munculnya penemuan-penemuan saintifik di dunia Islam pada masa silam tak terbayangkan tanpa adanya budaya ilmu

Oleh: Muhammad Deden Suryadiningrat*

Dunia saat ini sedang disibukkan dengan kampanye globalisasi besar-besaran “penghilangan identitas” umat Islam. Dan yang terjadi sekarang bukanlah perang dalam bentuk kontak senjata tetapi perang dalam bentuk pemikiran. Untuk memuluskan proyek ini, salah satu cara yang dilakukan oleh Barat ialah mencuci otak pelajar-pelajar Muslim yang belajar di Barat. Bahkan saat ini jenggot, baju koko, gamis, jilbab, dan cadar selalu distigmakan sebagai “costum” teroris.

Ilmu yang hanya bersandarkan humanistik yang dikembangkan Barat saat ini, telah menghasilkan masyarakat yang kehilangan orientasi hidup. Berbeda dengan Barat, Islam memandang ilmu sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan. Ilmu dalam Islam selalu disandarkan pada pijakan theistik. Padahal dalam Islam, mencari ilmu bagi setiap muslim dan muslimat adalah upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dalam sejarah Islam tidak pernah terjadi “tradegi Gereja Abad Pertengahan”, dan kebinggungan polarisasi ilmu dengan teologi.

Para Filsuf Yunani, bisa bangkit dari jeratan “mitos” menuju “logos” mengandalkan kemampuan berpikir “deduktif (umum-khusus)” yang menghasilkan pengetahuan spekulatif (kira-kira/prediksi). Sementara membawa semangat rasionalistik Yunani, Islam mampu menciptakan pola logika “induktif” lewat observasi. Sehingga pengetahuan yang didapatkan tidak lagi berupa kira-kira/prasangka, tapi sudah memasuki ranah pembuktian secara objektif di lapangan.

Satu hal yang sangat menarik bagi kita adalah originilitas pemikiran Thomas Aquinas, salah satu filsuf abad pertengahan yang dielu-elukan oleh kaum Nasrani. Pengamat pemikiran Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, MA. M.Phil, mengatakan, karya hebat Aquinas, “Summa Theologia” adalah plagiasi dari karya Al Farabi dan Ibnu Rusyd.

Dalam ajaran Islam, pencarian ilmu, ataupun penyebarannya memiliki akar yang sangat kuat Ini dapat di buktikan dengan banyaknya hadist dan ayat al-Quran yang menerangkan akan hal tersebut. Salah satu hadist yang bisa dikutipkan sebagai ilustrasi mengenai pentingnya ilmu adalah salah satu sabda Rasulullah yang menyatakan keunggulan seorang berilmu dibandingkan dengan orang yang beribadah seperti terangnya bulan purnama dan bintang-bintang.

Begitu pentingnya masalah ilmu ini, buku-buku klasik Islam --semacam kitab-kitab hadist seperti Sahih Bukhari atau Sahih Muslim atau kitab klasik Ihya Ulumuddin karangan Al Ghazali-- memulai dengan bab nya mengenai ilmu. Peran penting ilmu ini bahkan diungkapkan oleh Imam Bukhari.
Kata-kata bijak Al Ghazali bisa dikutip untuk mengilustrasikan pentingnya ilmu dalam kehidupan. Beliau mengatakan, “Orang-orang yang selalu belajar akan sangat dihormati dan semua kekuatan yang tidak dilandasi pengetahuan akan runtuh.”

Seorang ulama kontemporer, Yusuf Qaradawi, mengungkapkan bahwa ilmu merupakan pembuka jalan bagi kehidupan spiritual yang terbimbing, ilmu merupakan petunjuk iman, penuntun amal; ilmu juga yang membimbing keyakinan dan cinta. Dalam risalahnya mengenai prioritas masa depan gerakan Islam, beliau menempatkan prioritas sisi intelektual dan pengetahuan melalui pengembangan fiqh baru sebagai prioritas awal.
Ilmu dan Peradaban
Konsep ilmu pengetahuan memiliki pengaruh yang sangat besar dalam tubuh peradaban dan mengairi segi-segi peradaban Islam. Peradaban Islam, sebagaimana terwujudkan dalam sejarah klasiknya, dapat diidentikkan dengan kejayaan pengetahuan, sebagaiman seorang orientalis, Franz Rosenthal, memberi judul bukunya mengenai deskripsi dan peran pengetahuan dalam peradaban Islam sebagai, ‘The Knowledge Triumphant: The concept of Knowledge in Medievel Islam’.

Pada tulisan yang lain dia mengungkapkan, “Sebuah peradaban muslim tanpa pengetahuan tidaklah terbayangkan oleh generasi muslim pertengahan.”

Tetapi ada juga serangan yang menyudutkan umat Islam, dengan mengatakan “tradisi ilmiah dalam Islam mundur dikarenakan pemikiran dan karya-karya Al-Ghazali”. Padahal menurut ucapan ini merupakan pendapat orientalis yang salah memahami pemikiran Al-Ghazali.

Pengarag Ihya ‘Ulumuddin ini sebenarnya mengkritisi pandangan Ibnu Sina yang mengatakan “ilmu yang rasionalistik tidak perlu dijustifikasi lewat kebenaran teologis”. Pandangan Ibnu Sina ini mempengaruhi Ibnu Rusyd, sehingga lahirlah “double truth” yang saat kemudian dalam tradisi Nasrani dan modern terpolarisasi menjadi “kebenaran Tuhan” dan “kebenaran ilmiah”.

Prof Wan Moh. Nor Wan Daud pernah mengungkapkan bahwa pencapain-pencapaian peradaban Islam dahulu amat sangat terkait dengan adanya budaya ilmu di dalamnya, dan hal ini sudah tercatat dalam sejarah. Dari perspektif sejarah Wan Daud mengungkapkan bahwa sebuah bangsa yang kuat tetapi tidak ditunjang oleh oleh budaya ilmu yang baik, akan mengadopsi ciri dan kekhasan bangsa yang ditaklukkannya tetapi memiliki budaya ilmu yang baik. Bangsa Tartar yang mengobrak-abrik peradaban Islam di Baghdad dahulu kala justru malah terislamisasikan. Selanjutnya beliau menyebutkan budaya ilmu ini bisa dicirikan dengan terwujudnya masyarakat yang melibatkan diri dalam kegiatan keilmuan, ilmu merupakan keutamaan tertinggi dalam sistem nilai pribadi dan masyarakat. Munculnya penemuan-penemuan saintifik atau kemajuan teknologi di dunia Islam pada masa silam tidaklah terbayangkan tanpa adanya budaya ilmu yang menggerakkannya, karena pencapaian-pencapaian itu adalah manifestasi dari budaya ilmu tersebut. Syed Husein Alatas mengembangkan konsep “bebalisme” secara sosiologis terhadap kebiasaan, tradisi atau budaya anti-ilmu, anti-pembahasan, anti-penalaran dalam sebuah masyarakat.

Dalam abad modern ini dimana kebangkitan umat (resurrection people) didengungkan pembinaan budaya ilmu merupakan keharusan. Satu sisi yang juga bisa diberikan apresiasi dari budaya Ilmu dalam peradaban islam adalah penggunaan medium buku sebagai sarana penyebaran pengetahuan di dunia Islam. Lembaga penulisan buku –waraq–, perdagangan buku, perpustakaan – baik pribadi maupun lembaga kenegaraan– , sangat berkembang di dunia Islam ketika itu. Sebagaimana juga munculnya lingkaran studi di mesjid-mesjid, diskusi ilmiah di istana-istana penguasa, atau munculnya lembaga-lembaga pengajaran dari tingkat dasar hingga univesitas (kulliyah).

Di zaman klasik, setiap kota besar di dunia Islam memiliki bazaar buku masing-masing, suq al waraqa. Aktivitas para pedagang buku tidak semata-mata menjualbelikan buku, tetapi toko-toko mereka juga berperan sebagai tempat-tempat diskusi. Sebuah karya indeks mengenai buku-buku di dunia Islam sudah ada di masa itu. Al Fihrist, sebuah karya yang terkenal dikalangan sejarawan dikarang oleh Ibn Nadim seorang pedagang buku. Kajian mengenai penyebaran buku di dunia Islam juga bisa kita lihat dari karya seorang orientalis Denmark, J Pedersen dalam bukunya “Fajar Inteletualisme Islam.

Penulis adalah Koordinator Kajian Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS) ISID Gontor
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment