Islam disodok lewat sinetron-sinetron konyol dan bodor, tapi negara mendiamkannya. Kok bisa?
Setiap hari pemirsa televisi di Indonesia disuguhi tontonan sinetron.
 Bukannya sinetron yang membuat orang tambah pintar, tapi justru tambah 
bodoh alias blo’on. Bagaimana tidak, sinetron-sinetron itu jauh dari realitas sosial, mengawang-awang tak karuan.
Anehnya, yang kini banyak tayang dan mendapat rating tinggi itu 
adalah sinetron-sinetron yang digambarkan berlatar belakang kehidupan 
umat Islam. Mulai pribadi Muslim, keluarga Muslim, dan komunitas Muslim 
(pesantren). Tapi bukannya kebaikan yang ditonjolkan, sebaliknya adalah 
karakter buruk para tokohnya.
Lihat saja sinetron Ustadz Fotokopy, Islam KTP, Haji Medit (SCTV), Tukang Bubur Naik Haji (RCTI), Berkah (RCTI) dan Oesman 77 (Trans TV). Sinetron-sinetron tersebut memperoleh rating yang tinggi.
Lama kelamaan muncul kesan ada unsur kesengajaan untuk melecehkan 
simbol-simbol Islam. Bagaimana digambarkan seorang haji yang tidak 
mencerminkan sama sekali sikapnya sebagai seorang haji. Juga seorang 
ustadzah juga yang digambarkan sangat narsis. Ada pula santri sebuah 
pesantren yang digambarkan sangat gaul dan dengan mudahnya pacaran.
Pantas saja, penggambaran yang buruk simbol-simbol Islam itu menuai 
protes masyarakat. Mereka mendesak pemerintah menghentikan 
tayangan-tayangan yang tidak mendidik ini.
Di luar itu, banyak tayangan televisi—termasuk sebagian sinetron—yang
 membahayakan akidah umat.  Tayangan itu menggambarkan ketakhayulan dan 
juga klenik-klenik. Bagaimana tokoh-tokohnya sakti mandraguna akibat 
bantuan ‘jimat’ dalam berbagai bentuknya. Juga ada tayangan yang 
mengeksploitasi ‘dunia lain’ sehingga membuat pemirsanya takut terhadap 
setan, dan jin—sikap yang dilarang oleh agama.
Bisnis Besar
Di balik sinetron-sinetron berating tinggi itu ternyata ada bisnis 
besar. Para kapitalis pemilik televisi diuntungkan sangat besar dengan 
keberadaan sinetron tersebut. Dengan sinetron yang ratingnya tinggi maka
 pemasang iklan akan berbondong-bondong memasang iklan, kendati harga 
iklan selangit.
Bagi stasiun televisi itu sendiri, tayangan sinetron tak memerlukan 
banyak kerja. Tak perlu susah-susah menyiapkan sumber daya manusia dan 
peralatan yang mahal. Penggarapannya dilakukan oleh pihak lain, dalam 
hal ini rumah produksi. Begitu sinetron sudah jadi, stasiun televisi 
tinggal menayangkannya.
Di sinilah terjadi simbiosis mutualisma (kerja sama saling 
menguntungkan) antara stasiun televisi dan rumah produksi. Tujuan kerja 
sama ini semata-mata hanya urusan untung, bisnis, dan uang. Sama sekali 
bukan masalah edukasi atau lainnya.
Maka wajar jika banyak sinetron yang secara muatannya sebenarnya 
sangat tidak bermutu tapi mendapat tempat yang baik di stasiun televisi.
 Bagi stasiun televisi, mutu tidak penting. Yang penting, duit mengalir 
melalui iklan. Dan itu sangat mungkin dilakukan dengan merekayasa 
rating.
Sangat berat membuat sinetron yang bermutu di tengah tuntutan 
tayangan yang bersifat harian. Yang paling mudah adalah memproduksi 
sinetron konyol dan bodor tapi menghibur. Inilah yang terjadi saat ini.
Bagi rumah produksi, tayangan sinetron ini merupakan ladang mencari 
penghasilan. Demikian pula bagi aktor dan aktris, menjadi pekerja 
sinetron adalah sebuah kebanggaan karena penghasilan yang menggiurkan. 
Puluhan juta bisa mereka dapatkan dari satu episode sinetron.
Walhasil, sinetron-sinetron tersebut adalah lahan bisnis banyak 
kalangan. Satu sama lain saling menopang dan bergantung. Pantas jika 
dunia pertelevisian menjadi lahan basah untuk mengeruk pendapatan.
Negara tak Berdaya
Di tengah serbuan tayangan sinetron di televisi, sayangnya peran 
negara sangat minim, kalau tidak dibilang tidak ada. Pemerintah seolah 
berlepas tangan terhadap dampak penayangan sinetron tersebut bagi 
masyarakat.
Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring, mengaku
 dirinya tak punya kewenangan untuk menghentikan tayangan di televisi, 
kendati ia sendiri sangat tahu, banyak sinetron dan tayangan televisi 
yang merusak akidah kaum Muslim. 
Ini gara-gara ada UU No 32 tahun 2002 tentang 
Penyiaran, yang mengubah kewenangan mengontrol konten siaran televisi 
dan radio itu ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI ini dipilih oleh 
wakil rakyat, sebagai kepanjangan tangan rakyat dalam mengontrol 
televisi. Pemerintah merasa tak perlu cawe-cawe (ikut campur) karena sudah ada KPI.
Sementara itu KPI sendiri merasa kewenangan yang ada padanya juga 
dikebiri. KPI tidak bisa mencabut izin siaran stasiun televisi yang 
melanggar aturan. Soalnya, keberadaan izin itu justru ada di pemerintah.
Walhasil, KPI paling-paling hanya menyampaikan teguran dari mulai 
teguran satu, dua, dan tiga. Setelah itu memang ada pencabutan izin, 
tapi prosesnya membutuhkan waktu yang sangat panjang dan harus 
melibatkan pemerintah.
Nah kalau sudah begini, siapa sebenarnya yang mengontrol dan mengendalikan program pertelevisian di Indonesia? Masak
 rakyat setiap saat harus bertindak sendiri? Inilah negara liberal, di 
mana peran negara dikurangi, bahkan hilang sama sekali dalam hal ini.
Pandangan Islam
Islam memiliki seperangkat kebijakan yang jelas tentang pertelevisian
 ini. Ada departemen yang menangani masalah ini yakni departemen 
penerangan.
Kebijakan pertelevisian dirancang untuk mewujudkan tiga hal; (1) 
membangun masyarakat Islam yang kokoh dan kuat, (2) melenyapkan 
unsur-unsur yang bisa menghancurkan sendi-sendi masyarakat Islam, serta 
(3) menonjolkan kebaikan dan keluhuran Islam.  Itu kebijakan ke dalam.
Sementara kebijakan ke luar negeri, ditujukan untuk menerangkan 
Islam, baik dalam keadaan damai maupun perang, dengan penerangan yang 
menampakkan keagungan dan keadilan Islam; kekuatan Daulah Islamiyah, 
baik militer, ekonomi, serta peradabannya; serta menerangkan kerusakan 
sistem selain Islam, kedzaliman dan kerusakannya, serta kelemahan 
negara-negara kafir, baik militer, ekonomi, dan peradabannya.
Maka program siaran televisi, dilarang menayangkan hal-hal yang 
diharamkan oleh Islam. Demikian pula program-program siaran yang 
mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan akidah dan syariah, 
dibekukan dan dilarang seketika, tanpa menunggu-nunggu waktu lagi. 
Larangan ini pun ditujukan kepada program-program yang menjajakan 
pemikiran-pemikiran kufur, seperti demokrasi, liberalisme, pluralisme, 
nasionalisme, dan lain sebagainya.Apakah kita tidak ingin semua itu terwujud? 
mujiyanto
posted by @Dd
 
 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 Hello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean.
Hello, my name is Jack Sparrow. I'm a 50 year old self-employed Pirate from the Caribbean. 
No comments:
Post a Comment