MENGAPA HARUS KRITIS


Menerima perbedaan tak sama dengan anti kritik. Sebuah organisasi atau perkumpulan atau jamaah dakwah yang tidak siap menerima kritikan/masukan, berarti dia sedang menunggu bom waktu dari akhir riwayatnya. Sebab organisasi atau jamaah adalah komunitas manusia bukan malaikat.

Sikap kritis harus dimiliki oleh orang yang punya tujuan yang benar dalam sebuah organisasi atau jamaah. Karena dengan adanya sikap kritis maka akan muncul kontroling dan evaluasi yang berkesinambungan dalam wadah organisasi tersebut, sehingga tidak menyimpang dari tujuan semula dari terbentuknya organisasi tersebut atau jikapun ada yg menyimpang ada proses perbaikan karena adanya kritik. Kadang orang tidak bisa atau bahkan tidak mau bersikap kritis.  

Ada beberapa kemungkinan orang tidak bisa atau tidak mau bersikap kritis, diantaranya :


1. Apatis atau masa bodoh dengan apa yang terjadi disekitarnya. Yang penting eksistensinya dan kepentingannya tidak terganggu, dirinya aman sejahtera, asalkan tidak mengusik dirinya maka EGP (Emang Gue Pikirin) lah.

2. Tidak punya data atau tidak punya wawasan yang memadai dan tidak punya pembanding terhadap apa yang terjadi dihadapannya, sehingga tentunya tidak ada yang perlu dikritisi.

3.  Takut terhadap konsekuensi yang akan diterima jika bersikap kritis (meskipun sebenarnya dia mengetahui mana yang benar), contoh (takut ekonominya terganggu, takut tidak naik “tingkat/pangkat” bagi pemburu pangkat . . .  he..he..he..  , takut diboikot, dll) jika dia melakukan kritik. 

Biasanya hal ini terjadi dalam sebuah organisasi yang bernuansa 
komandoistik dan cenderung feodal plus antikritik, sehingga jika ada 
yang mengkritisi, maka punishment/hukuman (dalam bentuk apapun) 
akan dijatuhkan secara diam-diam (diboikot, dibully) atau terang 
terangan. Meskipun sikap takut ini sebenarnya berbanding lurus 
dengan tingkat Ketauhidan seseorang. Semakin penakut seseorang 
maka semakin lemah pulalah ketauhidan orang itu. Apalagi jika apa 
yang dikritisi itu adalah sebuah kebenaran sehingga harus 
disampaikan, meskipun tidak disukai oleh pemimpinnya atau banyak 
orang.


Jika tak dikelola dengan baik sikap kritis bisa berakibat buruk. Sikap kritis yang lahir dari kaidah asal beda atau untuk mencari sensasi akan melahirkan perpecahan. Tidak sedikit orang yang karena ingin menonjol lalu memanfaatkan celah untuk melakukan kritik. Karenanya tidak sedikit juga orang yang bisa meraih kepopuleran dari sikap ini. Yang ada dalam benaknya bagaimana bisa tampil beda ia tidak peduli akibat kritikannya yang bisa saja membingungkan ummat. Selain itu sikap kritis bisa bersumber dari kebencian dan bukan semangat perbaikan, juga bisa menjadi faktor runtuhnya sebuah organisasi atau jamaah. Sudah menjadi kaidah umum memang bahwa kebencian selalu melahirkan sikap kritis sebaliknya cinta membuat orang enggan mengkritik. Benci dan cinta selalu menyulitkan orang untuk menilai atau terjebak dalam sikap subyektif. ALLAH berfirman “..dan janganlah kebencianmu pada suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil…” maka mahfum mukhalofah nya adalah janganlah kecintaanmu terhadap suatu kaum membuat kamu berlaku tidak adil juga.


Sikap kritis yang tujuannya untuk merusak citra orang lain juga bisa menjadi penyebab rusaknya organisasi atau jamaah. Hal ini jelas dilarang oleh Islam. Karenanya kalaupun harus mengkritik, sebisanya tidak dilakukan didepan umum. Imam Syafiii sendiri tak mau menerima dirinya dikritik didepan orang banyak sehingga beliau berkata “orang yang mengkritikmu didepan khalayak adalah musuhmu”.


Sikap kritis yang dimaksudkan agar disebut berani juga tidak akan membawa mashlahat sikap seperti ini justru tidak akan membawa kebaikan. Orang yang dikritik bisa jadi akan bersikap sebaliknya bahkan bisa jadi memberikan balasan.


Untuk itu ada dua hal yang harus diperhatikan sebelum mengkritik.


1. Teliti dulu apa motif kita mengkritik, innamal a’malu binniyyah. Apa niat dan motif kita dalam melakukan kritik, untuk menjatuhkan seseorang, ingin tampil beda, agar disebut berani, atau memang murni untuk perbaikan dan kebaikan bersama..??? kritik yang tidak dilandasi niat yang benar maka endingnya kebanyakan tidak akan baik bagi si pengkritik itu sendiri.

2. Cara mengkritik, cara mengkritik yang disampaikan denagn bahasa yang santun dan sopan tentunya akan lebih bisa diterima daripada dengan cara yang kasar dan tidak mengindahkan etika. Jika tidak sesuatu yang semula tujuannya baik bisa menjadi buruk lantaran cara kita yang salah dalam menyampaikan kritik.



Bagi yang dikritik tentunya harus bisa menganalisa dan membedah mana kritik yang bertujuan membangun dan mana yang tidak, sehingga tahu mana sikap yang harus diambil.  Kedewasaan orang yang dikritisi akan teruji dengan bagaimana dalam mensikapi kritik, seorang Umar yang sangat legowo meskipun di kritik sedemikian rupa oleh seorang ibu dihadapan khalayak ramai membuktikan betapa bersih dan besarnya jiwa sang Al Faruq. Sehingga muncullah pernyataan “aku mencintai orang yang menunjukkan kesalahanku dan membenci orang yang hanya menunjukkan kebaikanku…”. Kebesaran dan kebersihan jiwa inilah yang seharusnya dimiliki oleh mereka pengambil kebijakan atau para pemimpin/qiyadah dalam sebuah organisasi atau jamaah dakwah, bukannya malah bersikap antikritik (memblacklist/mencatat merah) orang-orang yang melakukan kritik tanpa sebab yang jelas, yang bisa jadi tujuan mereka adalah untuk kebaikan bersama.


Kemampuan mengelola perbedaan ini menunjukkan tingkat kematangan kita dalam berjamaah. Dan kemampuan menerima perbedaan atau ketidaksetujuan itu kita belajar banyak hal. Kita belajar bagaimana menghormati pendapat orang lain, ketawadhuan yang mendalam, keikhlasan yang tak terbatas dan bagaimana menempatkan diri kita dalam jamaah, sekaligus takaran nilai kita dalam melalui ujian, apakah kita matang atau tidak dalam berorganisasi atau berjamaah. Dan yang perlu diperhatikan oleh pengelola organisasi atau jamaah adalah keutuhan jamaah jauh lebih utama ketimbang kemenangan dalam medan ‘pertempuran’. Kalah tapi umat tidak berpecah belah lebih baik daripada menang tapi umat berceraiberai. Inilah rahasia bagaimana Rasulullah saw mengambil kebijakan dan langkah2 dalam peristiwa perang Uhud.


Dengan membudayanya sikap kritis yang bertanggungjawab ini, maka insyaALLAH organisasi atau jamaah tersebut akan tumbuh menjadi sebuah organisasi yang sehat, kuat, penuh dinamika, tidak jumud, egaliter dan jauh dari feodalisme, seperti yang telah disampaikan oleh pakar-pakar organisasi modern.


AS

posted by @Dd
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment