ULAMA, BUYA, USTADZ, DA’I atau MUBALLIGH





ULAMA, BUYA,USTADZ, DA’I atau MUBALLIGH



ISLAM, setahu saya, bukan saja universal sifatnya, tetapi juga populis, merakyat. Hubungan antara da‟i/muballigh dengan ummat adalah horizontal, egaliter, dan setara. Dan da‟i atau muballigh itu adalah bahagian yang tak terpisahkan dari ummat. Dia ada di tengah-tengah ummat, dan bersama ummat. Sistem papacy atau kependetaan seperti dalam agama Nasrani yang pendeta atau pastornya memainkan peran sebagai zending atau missionaris itu diangkat (ordained), bersertifikat, pakai pakaian seragam, apa lagi bergaji, berlaku untuk mereka tetapi tidak dikenal dalam Islam, dan tidak perlu. Itu bedanya. Jika sekarang ada dari antara ulama sendiri yang mau menjadikan da‟i dan muballigh itu seperti cara di gereja itu, patut dipertanyakan: Aina mafarr.



Yang dijaga adalah kedekatan, bukan jarak. Makin dekat dengan rakyat, makin disukai, dan makin lekat kasih-sayang itu. Da‟i dan muballigh adalah bahagian dari rakyat dan hidup bersama rakyat atau ummat itu sendiri.



Dan setiap muslim, laki-laki dan perempuan, pada dasarnya adalah da‟i dan muballigh. Sekurang-kurangnya untuk diri dan keluarganya. Apatah lagi kalau juga bisa untuk orang lain. Ucapan Rasul: “Sampaikan olehmu walau satu ayat,” maksudnya adalah itu. 

Namun, perlu pula sejumlah dari antara ummat yang menjadikan dakwah dan tabligh menjadi bahagian dari profesi atau panggilan hidupnya. Al Qur`an: “Hendaklah sebahagian dari kamu menjadi kelompok orang yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh berbuat baik dan melarang perbuatan mungkar,” ke sana perginya.



Mereka tidak harus hanya itu kerjanya, seperti para pastor dan pendeta itu. Para da‟i dan muballigh yang professional bisa sebagai apa saja. Bisa pejabat, bisa tentara, bisa teknokrat, bisa pedagang, bisa petani, bisa guru, bisa ibu rumah tangga, apapun. Yang penting, mereka menyediakan sebagian ataupun sebagain besar dari waktunya, untuk berdakwah dan bertabligh. Dan jika dia dari keluarga mampu, cukup yang akan dimakannya dan cukup pula untuk pembiayai anak-isterinya, silahkan pula kalau seluruh waktunya dipakainya untuk berdakwah dan bertabligh itu.



Soalnya karena tidak setiap muslim ataupun muslimat punya bakat untuk menjadi da‟i/muballigh secara professional. Selain bakat, talen, juga perlu kemampuan berpidato, berbicara fasih di muka umum, beretorika, dsb, dengan suara dan gaya yang menarik dan menyenangkan. Walau semua itu bisa dipelajari, tetapi tidak semua orang bisa. Makanya muncullah barisan da‟i dan muballigh, yang karena ilmu agamanya yang mendalam biasanya mereka juga adalah ulama, atau sekurangnya ustaz/ustazah. Bertambah seorang da‟i/muballigh menguasai ilmu agama dan ilmu lain-lainnya juga, pandai dia membawakannya, dan pandai pula dia membawakan diri, maka bertambah senang orang padanya. Apalagi kalau di atas semua itu akhlaknya baik dan teruji, sehingga dia menjadi orang panutan, menjadi uswatun hasanah, dan pemimpin.



Dengan dia menjadikan dirinya da‟i, muballigh, atau ulama sendiri, tidaklah dia lalu menjadikan dirinya berbeda dari ummat  lainnya. Dai /muballigh yang berhasil adalah dai atau muballigh yang tidak memperlihatkan bedanya dengan ummatnya. Justru yang dicarinya adalah kedekatannya dan selalu berada di tengah-tengah ummat itu; bukan di atas atau diluarnya. Dai/muballigh ataupun ulama yang mencari-cari tuah diri dengan membikin pakaiannya berbeda dari ummatnya, dengan jubahnyakah, serbannyakah, kain berlipat yang disandang di bahunya kah, jenggotnyakah, atau apapun yang membikin dia berbeda dari yang lainnya, itu tanda bahwa dia minta dihargai, dilebihkan dari yang lainnya, dan diistimewakan. Apalagi kalau sudah sampai pula kepada usaha untuk menjadikan dirinya jadi Tuanku, jadi Kiyai, jadi Wali, jadi apapun yang menyebabkan dia diistimewakan, berbeda dari yang lainnya. Tangannya ingin dicium, sisa airnya diminum, sisa makanannya dimakan dan diperebutkan. 



Bagi saya susah untuk memahami ada orang yang sengaja memanggil dirinya Kiyai, Ustadz, Buya,Tuanku, apalagi Wali. Karena merasa diri Kiyai, Tuanku atau Wali, ada saja itu yang merasa kewajiban syariat tidak lagi wajib bagi mereka, karena secara tasawuf dia merasa sudah sampai ke tingkat makrifat. Karena hijab telah terbuka, dan dirinya dekat dengan Tuhan, atau bahagian dari Tuhan itu sendiri, dalihnya.



Pada hal da‟i/muballigh/ulama yang sebenar da‟i/muballigh/ ulama adalah yang membuat dirinya tidak berbeda dari yang lainnya, sehingga tidak ada masalah komunikasi dan jarak sosial itu. Dia tentu saja diharapkan lebih saleh, lebih tawadhuk, dan lebih memahami segi-segi dan sisi-sisi dari agama. Kalau bisa malah punya otoritas, artinya menguasai, dalam hal ilmu agama, sehingga dia menjadi orang tempat bertanya dalam hal yang berkaitan dengan masalah agama. Seorang da‟i, muballigh, apalagi ulama, di samping memiliki otoritas, tentu saja, lebih lagi, memiliki integritas, martabat diri. Dengan itu dia memperlihatkan kelebihannya, dan bukan dengan atribut, nama, pangkat, pakaian dan ciri-ciri penampilannya itu.



Bahwa pemerintah atau masyarakat sendiri memberi nafkah kepada mereka karena profesinya itu, boleh-boleh saja. Tetapi tidaklah dengan menempatkan mereka sebagai orang yang digaji, sebagaimana pegawai negeri, karena profesinya itu. Kecuali kalau dia adalah juga qadhi, garin, malim, muazzin, penjaga mesjid, yang tugasnya adalah memelihara mesjid dengan segala kegiatan rutinnya itu sehingga tidak ada waktu baginya untuk mengerjakan pekerjaan yang lain untuk mencari nafkah.



Seperti dengan anggota ummat lain-lainnya, merekapun harus memikirkan dan berusaha untuk mendapatkan nafkah dengan usaha apapun yang diredai, dan tidak mengandalkan hanya kepada pemberian dari pemerintah atau masyarakat itu.



Bahwa da‟i/muballigh, seperti juga ulama, membentuk organisasi professi sendiri, sah-sah saja. Dan siapa pula yang akan melarang. Apalagi kalau tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas dan mutu dari kinerjanya.



Bahwa da‟i tekanannya adalah di bidang dakwah bil hal, dan muballigh di bidang dakwah bil lisan, juga sah-sah saja. Dalam praktek ummat dan masyarakat tak terlalu membedakannya. Kata da‟i itu sendiri dalam konteks sosiologi agama di Indonesia dikenal baru kemudian, sementara sebelumnya yang dikenal adalah muballigh yang kerjanya bertabligh. Siapa bilang kalau da‟i hanya melakukan dakwah bil hal, dan bil lisan tidak. Da‟i yang melakukan dakwah bil hal dalam masyarakat Indonesia sekarang ini LSM namanya, bukan da‟i. Sebagai LSM diapun dapat duit, entah dari mana sumbernya. Karenanya istilah da‟i dan muballigh, dakwah dan tabligh, biasa diperganduhkan. Maksudnya itu juga. Dan muballigh pun, seperti da‟i juga, biasa tidak hanya sekedar menyampaikan tetapi juga menuntun dan melakukan tugas-tugas keagamaan yang sifatnya bil hal atau amal sosial itu.



Yang menjadi masalah dengan da‟i, muballigh, dan bahkan ulama sendiri, di tengah-tengah masyarakat ummat sekarang ini, adalah karena kebanyakan pandainya cuma menyampaikan, tetapi tidak memberi contoh dan tauladan. Bahkan tidak jarang, tak bersua yang dikatakannya itu dengan yang dikerjakannya. Atau bahkan sebaliknya, bertentangan.



Lunturnya muruah para da‟i/mubaligh/ulama di mata ummat, sebagaimana lunturnya muruah para umara` dan zuama` di mata rakyat, adalah karena tidak nyambungnya, atau tidak satunya, kata dan perbuatan itu. Mereka tidak menempatkan diri sebagai suri tauladan, sebagai contoh panutan bagi ummat dan rakyat.



Masalahnya “hanya” itu. Tetapi karena “hanya” itu pulalah menjadi rusak semua-semua. Dan masyarakat kita, baik ummat maupun rakyat, kehilangan tempat bergantung, karenanya juga kehilangan dan ketiadaan pemimpin. Yang jadi pejabat banyak, jadi ulama banyak, jadi da‟i dan muballigh banyak, tetapi yang jadi pemimpin langka atau bahkan nyaris tidak kelihatan.



Dilema Indonesia dan masyarakat Islam di Indonesia khususnya sekarang ini adalah karena ketiadaan pemimpin dan kepemimpinan dengan suri tauladan yang baik itu. Artinya umara`, zu‟ama`, „ulama`, termasuk da‟i dan muballigh, yang juga menempatkan dirinya sebagai pemimpin ummat dan rakyat itu. Sebuah anugerah dan petunjuk (hudan) dari ALLAH insya ALLAH, bagaimanapun, pasti akan terjadi di tengah-tengah masyarakat ummat dan rakyat Indonesia ini manakala para umara`, dan ulama` beserta da‟i dan muballighnya jikakembali menempatkan diri sebagai pemimpin ummat dan rakyat yang suri tauladan itu dimulainya dari dirinya sendiri, dan mereka bimbing rakyat dan ummat ini ke jalan yang benar dan diredhai-Nya. *** 

MN


posted by @Dd
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment