Islam Kaffah 2 ( an Unlimited System )



Sejak awal kelahirannya didunia, manusia sudah dibekali dengan dua sifat dasar alamiahnya. Keduanya adalah sifat Fujuroha (negatif) dan sifat Taqwa (positip).
Sebagaimana ini telah difirmankan oleh Allah dalam al-Qur’an  surah Asy-Syams ayat 7 dan 8 :
Wa nafsin wama sawwaha, fa alhamaha fujuroha wa taqwaha
Dan Nafs serta penyempurnaannya, dilhamkan kepadanya kefasikan serta ketakwaan…
Kedua sifat inilah yang pada perjalanan hidup manusia kedepannya akan saling tarik-menarik didalam dirinya, berebut untuk menjadi unggul dan mendominasi tingkah laku sehari-hari. Kerasnya persaingan antara sifat Taqwa dan sifat Fujuroha menciptakan sebuah kondisi yang membentuk kepribadian seseorang sehingga kadang ia terlihat berubah-ubah. Tergantung dari situasi dan kondisi.
Sifat Taqwa menjadi unsur kekuatan internal yang dapat mengerucutkan nafsu yang dipengaruhi oleh sifat Fujuroha agar tidak melanggar batas dan menyeleweng dari kebenaran. Aplikasi dari keunggulan sifat Taqwa ini sendiri menurut saya adalah sikap yang tidak mudah berputus asa terhadap sebuah kegagalan usaha dan tidak terlalu merasa gembira pula dengan apa yang sudah ia peroleh. Sebagaimana ini dipesankan oleh Al-Qur’an surah Al-Hadid ayat 23 :
Jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan jangan engkau terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu.
Artinya manusia harus menghadapi dunia ini dengan cara yang sangat wajar, tidak tertindas oleh ketidakpunyaan, kerugian, kesengsaraan, kebodohan, kepincangan berpikir dan sebaliknya tidak larut pula dengan kegemilangan keberuntungan, prestasi, penghargaan, keberhasilan dan lain sebagainya dalam bentuk yang melebihi ikatan alamiah sehingga sang manusia dapat menghadapi berbagai fenomena yang terjadi secara wajar dan sederhana.
Sesungguhnya sifat Fujuroha yang mendominasi jiwa manusia dapat membuatnya justru menjadi lupa diri dan bertingkah seolah dia adalah Tuhan yang bisa berbuat semau-maunya, bisa bertingkah seenaknya saja dengan semua apa yang ia miliki dari kekayaan, pengaruh atau jabatan yang ia miliki. Dari sini akan menjalar sikap tamak terhadap dunia dan anti-pati terhadap kebenaran yang disampaikan oleh orang lain diluarnya.
Betapapun kaya rayanya diri kita, tetapi bila sikap Fujuroha yang unggul pada kita maka semuanya hanya akan mendatangkan ketidakpuasan. Begitu kita bisa memenuhi suatu kebutuhan, pasti akan muncul kebutuhan yang lain, yang mungkin akan semakin mengobarkan nafsu dan keinginan kita sehingga kita tidak mungkin lagi mendapatkan ketenangan, merasakan kebahagiaan dan kepuasan. Kita senantiasa tertindas oleh keinginan untuk memiliki sesuatu yang dimiliki oleh orang lain tidak perduli bahkan apa yang kita sudah punyai justru terkadang lebih baik dan mahal darinya.
Inilah pertempuran diri yang tidak semua kita bisa melewatinya dengan kemenangan ditangan, bahkan tidak juga seorang ustadz dan ustadzah serta kyiai kondang atau pengajar al-Qur’an disebuah surau yang terletak dipedalaman. Tidak pula selalu berhasil dimenangkan oleh para cendikiawan dan tokoh nasional. Inilah Jihad al-Nafs yang harus dihadapi dengan semua akal sehat dan kebulatan tekad untuk menjadi bisa tanpa harus mengebiri atau memasung fitrah-fitrah insaniah kita yang lain. Jihad al-Nafs adalah jihad terakbar dari jihad apapun diluarnya, sebab memang semua cabang-cabang jihad lainnya itu bersumber dari hasil jihad al-Nafs ini.
Islam melarang umatnya untuk bersifat pasif, menutup dirinya dari unsur-unsur kehidupan dunia yang gemerlap dan penuh keindahannya. Islam tidak mengajarkan pengikutnya untuk menenggelamkan diri dalam siksaan kefitrahannya demi mencapai pendekatan maupun pelayanan kepada Tuhannya. Oleh karena itu didalam Islam tidak ada konsep kerahiban, tidak ada biara-biara ditengah hutan yang ditinggali oleh ahli agama yang menolak kawin dan menyepi berselimutkan pepohonan dan suara alam yang stagnan.
Islam tidak pula berprinsip seperti komunitas hedonis yang menganggap diri punya hak penuh tanpa batas untuk menikmati kesenangan dan kenikmatan hidup. Mereguk apa yang ingin ia reguk dan melepaskan seluruh keinginannya dijalan mana saja yang ingin dia lalui. Islam justru tidak menyukai konsep hidup yang sebebas-bebasnya tanpa ada ikatan yang mengatur hak dan tanggung jawab seseorang atas pilihan hidupnya.
Bagi Islam, hidup ini suci, peperangan antara Fujuroha dan Taqwahapun adalah perang yang suci. Manusia dimata Islam harus hidup dengan dua sisi yang penuh keseimbangan. Bisa memisahkan apa yang harus ia ambil dan mana-mana yang harus ia tinggalkan. Kesadarannya terbuka bebas dan tidak tercekik oleh berbagai larangan tetapi tidak pula hancur dibawah kaki naluri keserbabolehan.
Islam memperbolehkan manusia untuk memenuhi keinginannya agar memperoleh sesuatu yang memang ia dambakan selama itu tidak melakukan kejahatan atas tubuh, akal dan kehidupan dirinya atau kehidupan orang lain.
Dengan kata lain, Islam merupakan hak dan tanggung jawab.
Jadi apapun yang kita perbuat, baik berkorelasi secara langsung maupun tidak terhadap agama dan keyakinan yang kita anut semuanya tetap terkontrol dibawah nash-nash ilahiah yang mengikat.
Itulah Kaffah.
Semua gerak langkah kita, tidur dan jaga kita, lisan maupun batin kita, berumah tangga sampai berorganisasi, berekonomi maupun berpolitik, berpendidikan maupun berkarya harus secara Islam. Tidak ada bantahan yang mampu menghancurkan sistem yang saling terintegrasi ini.
Salah seorang Ahli Bait Nabi yaitu Imam Ja’far Ash-Shadiq pernah berkata : “Sesungguhnya Allah tidak memberikan suatu kenikmatan atas seseorang hamba kecuali didalam kenikmatan itu disertakan-Nya argumentasi yang jelas. Sehingga barangsiapa yang memperoleh anugerah Allah lalu dirinya menjadi kuat, maka argumentasi logis dari nikmat kekuatan yang diterimanya tersebut harus digunakan untuk membantu yang lebih lemah. Barangsiapa yang dianugerahi oleh Allah menjadi kaya, maka hartanya harus menjadi bukti atas anugerah tersebut yakni dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban kepada kaum fakir miskin”.
Pendek kata, semua tarikan nafas dalam kehidupan ini semuanya terikat dengan garis Allah. Baik kita suka atau  tidak suka.
Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. (QS. Al-An’am [6] :162)
Tidak dapat dipungkiri kalau banyak manusia berlaku ingkar terhadap hak dan kewajibannya itu. Ini akibat terlalu mendominasinya sifat Fujuroha didalam dirinya sehingga ia terus berada diluar jalur kebenaran. Maka menjadi tugas orang-orang yang tingkat Taqwanya sedikit lebih diatas dari sifat Fujurohanya untuk membimbing, menyelaraskan dan mengembalikan nilai-nilai ilahiah dalam tatanan kehidupan. Seorang Muslim yang baik harus mampu berperan menjadi Avatar bagi dunia sekitarnya yang sudah kacau balau. Tidak ada kata terlambat, karena harapan itu masih ada.
Kita masih bisa berbuat banyak dan lebih dengan apa yang kita miliki, mulai dari ilmu, pikiran, tulisan, tenaga maupun doa.
Biarlah setiap kita menjadi Avatar dengan kemampuannya masing-masing asalkan semua kemampuan ini bisa saling bersinergi satu dengan yang lain. Manusia adalah pencipta perubahan. Penderitaan maupun kesenangan yang dialami manusia, muncul dari perbuatan-perbuatan sadar yang dilakukan oleh manusia, baik individual atau komunal. Manusia sendirilah yang menciptakan sedih dan bahagianya melalui penciptaan sebab-sebabnya dalam kehidupan, dari kehendak dan pilihan yang telah diperbuat.
Oleh karena setiap dari kita tidaklah bisa hidup sendirian tanpa bergantung pada orang lain, maka Islampun mengatur aspek vertikal dan  horizontal. Aspek hamba terhadap Tuhannya serta hamba terhadap hamba-Nya. Inilah sebuah system yang tidak berbatas dari Islam. Mengatur semua lini kehidupan, lahir dan batin, perseorangan sampai bernegara.
Tidak ada pemisahan antara kubu agama dengan kubu negara karena Islam adalah alam semesta, Islam adalah kaitan antara hidup dan mati, tugas dan tanggung jawab. Islam tidak hanya mengatur urusan ibadah mahdhah yang melulu berbicara soal akhirat dan upacara-upacara ritual ketuhanan yang bersifat abstrak saja tapi Islam berbicara juga tentang dunia dan kehidupan nyata yang dapat disentuh, dirasakan serta dilihat.
Sekali lagi, itu juga disebut Kaffah.
Langsung masuk kita pada konteks pembicaraan ideologi Islam dikehidupan masyarakat Islam, khususnya Indonesia.
Sebagian orang menggambarkan ideologi Islam akan terealisasikan dialam realita jika berdiri seorang pemimpin, raja, khalifah, presiden, amir, imam atau terserahlah apa saja jabatan itu anda namakan yang menjadikan Islam sebagai dasar kehidupan berbangsa.
Dengan kekuasaannya, sang pemimpin tadi digambarkan akan dapat mengeluarkan dekrit, undang-undang, keppres, sabda panditoratu dan lain sebagainya demi terwujudnya ideologi Islam yang diharapkan.
Gambaran ini tidak salah dan juga tidak terlalu muluk-muluk, apalagi jika kita berbicara dalam pentas negara Indonesia yang konon mayoritas masyarakatnya Muslim.
Tetapi kita sering melalaikan realita penting pada aspek pendefenisian dari ideologi atau masyarakat Islam itu sendiri, apa dan bagaimana maksudnya ? juga kita melalaikan aspek kadar kerusakan yang sudah ditimbulkan oleh kaum kapitalis ditengah masyarakat yang majemuk ini. Belum lagi kelalaian kita terhadap kemampuan dan kemauan sang raja, presiden atau pemimpin yang sudah kita pilih tadi untuk tetap istiqomah serta sanggup melakukannya.
Saya yakin, banyak yang bosan, mual atau muak dengan kalimat proses, bertahap atau periodeisasi.
Bisa dimaklumi, namun kita tetap harus berpijak pada kenyataan yang berlaku didepan mata kita bukan berpijak pada egoisme diri yang penuh mimpi dan jauh dari realitas.
Pemimpin yang baik dalam kacamata Islam, bukan hanya orang yang sekedar mencanangkan teori kembali pada al-Qur’an dan sunnah semata, atau orang yang merayakan hari-hari besar agamanya, menyerukan toleransi antar umat beragama. Namun seorang pemimpin harusnya juga bisa menganjurkan orang Islam untuk mendirikan sholat, menunaikan dzakat, berpuasa dibulan Ramadhan serta memberikan hukuman bagi yang meninggalkannya. Seorang pemimpin harus pula mampu menjadi imam didalam sholat yang ia ikuti, aktive dalam menjaga kemurnian akidah dan moralitas umat serta bangsanya.
Bukan malah pemimpin yang membiarkan adanya acara-acara saweran dangdutan, iklan-iklan dengan gadis berpakaian minim, lagu-lagu dengan irama, lirik dan vokal penuh birahi, kontes ratu sejagad, miss universe atau legalisasi penerbitan majalah porno ala playboy dan kawan-kawannya yang secara nyata-nyata merusak akhlak generasi muda bangsa terlebih umat Islam yang memegang teguh prinsip al-Qur’an.

Memang pemerintahan kita belum sepenuhnya bisa mengaplikasikan hukum-hukum ilahiah secara kaffah, tetapi marilah kita duduk bersama membenahi pemerintahan tersebut secara bertahap, tidak mudah untuk merubah sesuatu yang sudah mapan, namun paling tidak kita sudah bisa sedikit berbangga dengan mulai dimasukkannya beberapa syariat Islam didalam hukum-hukum kenegaraan di Indonesia, misalnya mulai dari hukum perkawinan Islam kedalam UU perkawinan negara yang meskipun sempat menuai pro dan kontra pada masa lalu tetapi toh berhasil di-gol kan, atau dengan diakuinya serta dibebaskannya pemberlakuan hukum-hukum Islam untuk wilayah NAD, begitupula rancangan anti porno aksi dan pornografi yang cepat atau lambat segera pula disyahkan ditengah gelombang pro dan kontranya dan sebagainya.
Dalam merubah paradigma serta tabiat jahat bin jahiliah dari manusia, pasti diperlukan waktu yang tidak singkat, even seorang Rasul sekelas Nabi Muhammad pun membutuhkan rentang waktu lebih dari angka 20 tahunan ditambah oleh tahun-tahun kepemimpinan dimasa Umar bin Khatab untuk membentuk sebuah masyarakat yang madani sesuai peraturan ilahiah. Dan kita, mungkin perlu dua kali atau tiga kalinya dari masa-masa tersebut.
Saya hanya menyeru, mari kita contoh pula bagaimana sikap Imam Hasan bin Ali cucunda Rasul yang bersedia berdamai dengan pihak  Muawiyah bin Abu Sofyan yang meminta paksa kekuasaan khilafah dari diri Ahli Bait Rasul selama keselamatan dan hak-hak kaum Muslimin terjaga meski masih dalam batas-batas tertentu. Akan ada saatnya kelak kita mencontoh sikap Imam Husien bin Ali yang juga cucunda Rasul ketika mengangkat senjata untuk memerangi kemungkaran dari pemerintahan Yazid bin Muawiyah meski tubuh harus berkalang tanah.
Tetapi selama kita masih bisa menggunakan jalan-jalan damai, cara-cara yang arif untuk menyelesaikan permasalahan bangsa, maka mari kita tempuh cara itu, demi menghindari jatuhnya korban dari anak-anak, wanita dan orang-orang kecil.

Negara ini masih sangat perlu untuk ditata dan diperbaiki, dan sesuai semboyan dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) : Harapan itu masih ada.
Bagaimana caranya ?
Tidak ada jalan lain kecuali dengan masuk kedalam sistem dan ikut memberikan perbaikan dari dalam no matter how hard to try and how long it will be.
Just do it as long as we can do.
Faidza ‘Azzamta fa tawakkal ‘alallah. Jika kamu sudah berusaha, maka serahkanlah pada Allah. Just do the best and leave the rest to Allah.
Pengeroposan moral ditengah masyarakat yang seakan tidak lagi terbendung memerlukan tangan-tangan dieksekutif untuk dapat menghentikannya, begitupula aksi-aksi pemurtadan baik terselubung atau terang-terangan. Ini semua harus diselesaikan satu persatu dan bukan hal yang mudah.
Halangan pasti akan selalu ada, sebab ada banyak manusia dengan kecenderungan sifat Fujurohanya yang pasti tidak akan senang dengan usaha-usaha perbaikan ini. Taburan uang untuk dikorupsi pasti akan terus mengintai, begitu pula tawaran paha mulus dada tak berbulu dari para pelacur murahan akan senantiasa mencoba menggugah birahi-birahi keimanan Taqwwaha. Tetapi sekali lagi, ini tidak menjadi alasan untuk mundur kebelakang dan meninggalkan peradaban. Iman justru ada karena setan yang menggoda. Itulah hidup yang mesti dilalui.
Imam Ali bin Abu Thalib berkata : ” Kesabaran itu ada dua macam : sabar atas sesuatu yang tidak kau ingini dan sabar menahan diri dari sesuatu yang kau ingini. Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi, senangilah apa yang terjadi. Para ahli agama yang paling bijak adalah mereka yang tidak membuat orang berputus asa akan rahmat Allah atau kehilangan harapan akan santunan dan kasih sayang-Nya, tetapi juga tidak membuat orang terus menerus merasa aman dari pembalasan-Nya.” (Sumber : Mutiara Nahjul Balaghah, Hal 124 s/d 126, Mizan 1999)
Innal Hamdalillah
Nahmaduhu wanasta’inuh
Mayyahdillahu fala mudlilalah
Wamayyudlil fala hadiyalah
Segala Puji bagi Allah
Baik saya maupun anda semua sama-sama memuji-Nya dan memohon pertolongan-Nya
Siapa yang diberi-Nya petunjuk, maka tidak ada seorangpun yang kuasa menyesatkannya kembali
Dan siapa saja yang sudah diberi-Nya kesesatan, maka tiada seorang juga yang mampu memberi petunjuk kepadanya
Hidup memang tidak mudah … baik hidup secara individu apalagi hidup secara berkelompok atau berjemaah,  demikian pula dalam menjalani hidup didalam mahligai rumah tangga. Hidup tidak pernah berjalan tanpa masalah … baik dalam skala kecil maupun besar.
Masing-masing manusia, terlepas dari siapapun adanya dia, mulai dari manusia biasa, awam, rakyat jelata hingga kepada para Nabi dan Rasul Tuhan terikat dengan apa yang disebut sebagai kausalitas. Bahwa ada moment-moment dimana dia terpaksa bersedih dan menitikkan air mata, adapula moment dimana dia bisa tertawa lepas bahagia.
Konflik dan kesepakatan juga menjadi bagian dari proses hidup dan kehidupan, tidak ada manusia yang tidak pernah berkonflik didalam hidupnya dengan siapapun termasuk dengan orang tua atau pasangannya masing-masing, entah itu antar suami dengan istri atau antar dua pasang kekasih maupun sahabat, begitupun semua dari kita pasti pernah bahkan sering melakukan kompromi, bersepakat dengan orang lain, mulai dari hal yang paling kecil sampai pada hal yang paling besar.
Semuanya menandakan hidup kita berjalan dengan normal … berjalan sesuai aturan yang sudah ditetapkan oleh Allah, menyetujui fitrah kemanusiawian kita.
If a wound hath touched you, be sure a similar wound hath touched the others. And such days WE cause to alternate among men that they may be admonished, and that ALLAH may cause to be distinguished those who believe and may take witnesses from among you; and ALLAH loves not the unjust – Qs. 3 ali Imron 140
Jika engkau mendapatkan keterlukaan (kekecewaan, kepedihan, kehancuran) maka ketahuilah bahwa hal yang samapun terjadi pada orang lain, karena hari-hari tersebut sudah Kami gilirkan diantara manusia untuk menjadi pembelajaran. Dengan sebab itulah Allah membedakan siapa diantara kalian yang benar-benar beriman dan membenarkan kesaksiannya, Allah sangat tidak menyukai orang-orang yang berlaku zalim. – Qs. 3 ali Imron 140
Saya ingat, dahulu sewaktu setiap kali kenaikan tingkat pada perguruan Tenaga Dalam yang saya ikuti, almarhum guru spiritual saya, Bang Asfan, sering mengatakan kepada kami semuanya bahwa semakin tinggi tingkatan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang maka akan semakin tinggi pula tingkat ujian keimanannya … kemampuan disini tentunya bisa menjadi sangat beragam … jika sebelumnya dia hanya diuji dengan kemiskinan bisa saja kelak dia akan diuji dengan kekayaan, bila sebelumnya dia diuji dengan harta mungkin kelak dia akan diuji dengan wanita … bila sekarang diuji dengan bahagia mungkin besok atau lusa akan mendapat ujian dengan penderitaan…. saat ilmu seseorang (ilmu apa saja) meningkat kepada yang lebih baik dari sebelumnya … maka ujian atas ketinggian ilmunya tersebutpun akan jauh lebih tinggi pula dari sebelumnya …
Keberadaan berbagai ujian tersebut kiranya bukan tanpa maksud …
Ada hikmah yang tersembunyi dari pergiliran siang dan malam, gagal dan berhasil, susah dan senang, bahagia dan derita … yaitu sesuai isi dari surah ali Imron ayat 140 diatas, agar semua itu bisa menjadi pembelajaran untuk diri kita sendiri sekaligus membuktikan komitmen syahadat kita terhadap Allah dan Rasul-Nya, apakah kita memang pantas untuk naik kelas ataukah masih harus bertahan dikelasnya yang lama, yang berarti menurut Rasul adalah kelasnya manusia yang merugi, yaitu mereka yang hari ini sama seperti hari sebelumnya, hari esok sama seperti hari ini … yang lebih jauh lagi menurut al-Qur’an adalah kelasnya orang-orang yang tidak pandai dalam melakukan efisiensi waktu.
Demi Waktu … sesungguhnya manusia itu benar-benar ada dalam kerugian, kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal shaleh serta saling menasehati agar selalu taat pada kebenaran dan berada dalam kesabaran – Qs. 103 al-Ashr 1 s/d 3
Hidup ini merupakan ibadah … dan karenanya kita tercipta.
Dan Aku tidak menjadikan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. – Qs. 51 adz-DZaariyaat 56
Ibadah tidak selalu bermakna ritual seperti sholat, haji dan berzakat … ibadah mencakup semua aspek gerak maupun diamnya kita … hidup adalah berdzikir …berdzikir baik secara lafash maupun tingkah laku … tugas kekhalifahan manusia itu merupakan ibadah yang harus ditunaikan sebagai sebuah amanah dari Allah … kita semua khalifah atas diri kita masing-masing …kitapun bisa bertindak menjadi khalifah atas orang lain saat kita mendapat kepercayaan memimpin sebuah komunitas, sebuah jemaah atau sebuah organisasi maupun perusahaan.
Tiap-tiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawaban mengenai kepemimpinannya itu.; maka seorang pemimpin yang memimpin orang banyak adalah pemimpin yang diminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya tersebut. Dan istri adalah pemimpin dalam rumah tangga suaminya, dan ia bertanggung jawab atas kepemimpinannya itu. Dan anak adalah pemimpin pada harta yang ada dirumah bapaknya, dan ia bertanggung jawab atas penjagaannya itu; dan hamba sahaya adalah pemimpin dalam harta tuannya dan ia bertanggung jawab atas penjagaannya itu. – Riwayat Bukhari-Muslim
Suka atau tidak suka, rela atau terpaksa kita akan berhadapan dengan perbedaan, kita akan berkonflik baik secara internal maupun eksternal.
Tidak semua yang ada dan yang keluar dari diri kita bernilai benar dan harum, kita bukan sosok malaikat yang bersifat statis, hanya mengerti mengenai kebenaran saja … kita adalah perpaduan unik dari unsur-unsur al-Haq dan Batil yang  karenanya kitapun sewajarnya untuk mawas diri, berlaku bijak atas berbagai persoalan yang ada.
Kita harus adil sekalipun adil itu berat, melelahkan bahkan menjemukan … adil bukan berarti harus sama persis antara satu dengan yang lain …. sebagai misal, saya punya dua orang anak, yang besar lelaki berusia hampir 3 Tahun dan yang paling kecil wanita berusia 5 bulan … akan menjadi sebuah perbuatan yang tidak adil bila saya membelikan keduanya susu yang sama … sebab memang nutrisi dan kebutuhan kandungan yang mereka butuhkan berbeda, anak saya yang laki-laki karena usianya lebih tua, aktivitasnya lebih banyak dia membutuhkan asupan gizi dengan susu yang berlabel 3+ keatas …sementara adiknya karena masih bayi lebih memerlukan asupan susu formula yang khusus untuk 1 tahun kebawah…. dan bila saya memberikan keduanya sesuai kebutuhan mereka maka itulah adil.
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya -Qs. an-Nisa’  4:135

Oleh : AS

posted by @Dd
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment