Profesional dalam bermuamalah

 
Ketika kita berkomitmen untuk menjadikan dakwah dan semua kebaikannya sebagai jalan hidup, ada sebuah konsekuensi yang secara tidak langsung dilekatkan dalam diri. Yakni tugas sebagai teladan yang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, para aktivis dakwah dituntut untuk memiliki sikap profesional yang lebih besar dibanding orang biasa. Hal ini dikarenakan para aktivis dakwah dipandang paham tentang niat tertinggi dalam setiap perbuatan, tentang akhlak yang baik pada orang lain, dan berbagai kebaikan lain yang senantiasa ditanamkan untuk diinternalisasikan dalam dirinya.
Menjadi teladan yang baik dalam bersikap profesional pada kenyataannya bukan hal mudah. Masih banyak tugas mengenai profesionalisme para aktivis dakwah. Pada dua edisi lalu, saya telah menuliskan beberapa PR sikap profesional kader, terutama dalam dunia akademis profesi. PR lain yang juga menjadi catatan penting adalah perihal muamalah.
Saya tertegun ketika mendengar salah seorang kader mengatakan bahwa ia lebih suka bermuamalah dengan nonkader daripada dengan kader sendiri. Ia mengatakan bahwa sikap permisif cukup dominan ketika bermuamalah dengan sesama kader. Sikap permisif ini mungkin dapat diwakilkan dengan istilah “manajemen afwan” yang cukup populer di kalangan kader. Istilah itu digunakan ketika seorang kader berkali-kali melakukan hal yang tidak profesional, seperti keterlambatan tanpa alasan yang jelas, komunikasi yang buruk, dan semacamnya. Sayangnya, perilaku tersebut cukup ‘dibayar’ kata “afwan” dan selesai. Ada rasa sungkan ketika memberikan teguran atau sanksi. Bahkan, banyak yang memberi berbagai permakluman tanpa kejelasan solusi.
Ada beberapa kasus ketika kader mahasiswa berhadapan dengan ADKP di kampusnya. Manajemen afwan kerap kali muncul. Bahkan kala berkaitan dengan urusan akademis. Keterlambatan dalam riset dan beberapa pelanggaran lain dalam penelitian diputihkan dengan kata “afwan” hanya karena dosennya sesama kader. Hal ini sangat memprihatinkan. Mengingat ‘status’ sebagai kader harus ditempatkan pada porsi yang semestinya. Kasus semacam ini tidak hanya merugikan kader itu sendiri, juga secara luas telah mengikis citra aktivis dakwah sebagai teladan yang baik.
Ada beberapa hal umum yang perlu menjadi catatan kita sebagai seorang aktivis dakwah pada saat bermuamalah.
1. Menempatkan seseorang sesuai dengan posisinya
Tidak jarang kita permisif terhadap sesama kader. Jika seorang kader menjadi pemimpin dalam sebuah lembaga, otomatis lembaga tersebut "seolah-olah" milik "kita" sehingga kita bebas berbuat apapun. Padahal, saat dia berada pada posisi sebagai profesional, kita harus ikut menempatkan dirinya sebagai seorang profesional. Misal, jika ingin mengundang seorang menteri yang merupakan kader kita, kita tidak bisa seenaknya mengundang mereka seperti mengundang kader biasa yang cukup dengan sms. Kita perlu memerhatikan kaidah permohonan undangan sesuai dengan prosedur.
OPINI
2. Ihtiram kepada yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda
Sikap permisif terkadang muncul terhadap kader yang jauh lebih tua dari kita. Tidak jarang saya mendengar kader yang memanggil "antum"' kepada seorang ustadz yang dari sisi usia lebih tua dibanding kita. Bagi kita sebagai orang timur, panggilan tersebut terasa kurang sopan, walaupun "antum" adalah bentuk sopan dari kata “anta”. Dalam beberapa kondisi, tidak jarang kita memimpin sebuah kelompok yang beranggotakan orang-orang yang lebih tua juga dari kita. Pada saat mengarahkan dan memberikan instruksi, kita perlu memerhatikan kondisi mereka. Meski hal yang kita sampaikan benar, setidaknya mereka memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak dari kita. Begitu juga sikap kepada orang yang lebih muda. Kita perlu menghargai dan menyayangi mereka, mendengarkan pendapat, serta menampung aspirasi mereka. Setidaknya mereka mempunyai ide-ide segar sehingga tidak layak jika kita selalu menolak ide-ide yang disampaikan oleh mereka.

3. Menuliskan perjanjian jual beli dan hutang piutang
Beberapa kasus menunjukkan ketiadaan catatan hitam di atas putih pada bentuk muamalah ini. Ketika ada masalah, pihak yang dirugikan tidak memiliki bukti kuat untuk mendapatkan keadilan. Biasanya hal ini berawal dari sikap terlalu tsiqah pada sesama kader, namun mengabaikan sikap profesional dalam bermuamalah. Ketika masalah timbul, ada rasa sungkan yang pada akhirnya berujung pada sikap diam ditambah dengan husnuzan yang tidak pada tempatnya. Padahal Allah SWT telah menuliskan sebuah ayat tentang hal ini, bahkan menjadi ayat terpanjang dalam Al-Qur'an.

Pada akhirnya, perihal muamalah harus menjadi perhatian penting dalam diri seorang aktivis dakwah. Aktivis harus menjadi qudwah hasanah di manapun ia berada dan dalam peran apapun yang disematkan padanya. Akhlak yang baik dan profesional dalam bermuamalah dengan orang lain akan membawa aktivis dakwah pada kebaikan tidak hanya untuk dirinya, namun juga pada citra dakwah itu sendiri.
Bayanat

Dr. Edi Sukur, M. Eng
Pembina MITI-Mahasiswa

posted by Adimin
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment