Jati Diri


  Seekor kura-kura  tampak tenang ketika merayap diantara kerumunan penghuni hutan lain, pelan tapi pasti ia menggerakkan keempat kakinya yang melangkah sangat lamban...  plak... plak…!. Tingkah kura kura itupun mengundang reaksi hewan lain, ada yang mencibir, tertawa, dan ada yang mengejek. “Hei  kura-kura, kamu jalan apa tidur” ucap kelinci yang terlebih dahulu berkomentar miring, spontan yang lain pun tertawa riuh.

“Hei kura-kura-kura” suara tupai ikut berkomentar, “kalau jalan jangan bawa-bawa rumah, berat tahu”! sontak hampir tak satupun hewan yang tak terbahak. Ha.. ha.. ha.. dasar kura-kura lamban! Komentar hewan-hewan lain marak. Namun yang diejek tetap saja tenang, kaki kakinya terus melangkah mantap, sesekali kura-kura menoleh ke kiri & ke kanan menyambangi wajah teman temannya  sesama penghuni hutan. Ia pun tersenyum, “apa kabar rekan-rekan ?” ucap kura-kura ramah. “Teman tidakkah sebaik- nya kau simpan rumahmu selagi kamu berjalan, kamu jadi begitu lamban”, ucap kancil lebih sopan. Ucapan kancil itulah yang akhirnya menghentikan langkah kura-kura ia seperti ingin mengucapkan sesuatu. “tak mungkin aku melepas rumahku” suara kura-kura begitu tenang, inilah jatidiriku. Melepas rumahku berarti melepas jatidiriku. Inilah aku, aku akan tetap bangga sebagai kura-kura dimanapun & kapanpun, jelas si kura-kura begitu percaya diri.

Menangkap makna hidup sebagai sebuah medan pertarungan, memberikan sebuah kesimpulan bahwa merasa tanpa musuh pun kita sebenarnya sedang bertarung. Karena musuh dalam hidup ini bisa berbentuk apapun seperti godaan, bisikan setan, & berbagai stigma negatif lainnya.

Wahai pemuda....dan bagi mereka yang belum atau sudah menemukan jati diri.....
Inilah pertarungan jatidiri. Pertarungan yang bisa merongrong keaslian jatidiri sebagai muslim, sebagai orang indonesia, sebagai aktivis, sebagai da’i.  Satu contoh, betapa banyaknya saudara saudara kita yang lambat laun melepaskan jati dirinya (sebagai manusia Indonesia) hanya karena silau dengan gaya hidup bangsa lain (baca barat) yang hedonis dan permisif. Mulai dari gaya hidup (valentine, idol, fasion, dll) ), gaya berpakaian, gaya pendidikan dan sebagainya. Kita jadi teringat dengan PM Malaysa Mahathir Muhammad yang  jika menghadiri pertemuan resmi, selalu bangga dengan menggunakan pakaian melayunya, atau para pemimpin arab yang selalu menggunakan pakaian khas arab dengan kafiyehnya. Mereka-mereka inilah manusia yang masih mempunyai jatidiri. Sebagai sebuah bangsa, sebagai negarawan dan tentunya sebagai seorang muslim. Tidak  seperti mereka yang kemana-mana menggunakan jas, padahal jas adalah pakaian khas bangsa eropa yang mempunyai nilai geografis dan historis dimana pakaian tersebut cocok dengan kawasan eropa yang bermusim dingin/salju. Mungkin kita tidak sadar atau terlena dengan sihir gaya hidup barat, sebab kita tidak atau belum bisa membedakan modernisasi dengan westernisasi. Modernisasi sesuai dengan nilai-nilai kemajuan yang universal, sedangkan westernisasi adalah produk budaya yang terkait dengan falsafah materialisme, pola hidup hedonis, pola hidup serba boleh yang banyak melanggar moral dan agama secara umum. Satu contoh kerancuan berpikir, saudara-saudara kita yang masih bertahan dengan budaya berpakaian ala kadarnya misalnya suku-suku terdalam seperti suku-suku di Afrika atau suku asmat di papua dengan kotekanya yang hanya menutupi bagian vitalnya saja dianggap Primitif, tetapi mereka yang menggunakan pakaian you can see atau pakaian minim (bikini) dan ada juga yang ( maaf)telanjang, malah dianggap modern (seharusnya sama sama primitif). Ini adalah satu hal yang rancu dan sangat naif, karena nilai kebenaran bukan dilihat dari sisi obyektifitasnya tapi dilihat dari sisi yang subyektif (siapa yang dinilai).

Sebagai seorang pemuda muslim kita dituntut untuk benar-benar bisa mem- pertahankan atau bahkan menularkan jati diri kita. Karena nilai-nilai Islam justru sangat sesuai dengan nilai-nilai kebaikan universal dan modern. Apalagi diakhir zaman ini, opini-opini dan stigma-stigma negatif yang terus menerus dilancarkan oleh musuh musuh Islam. Mulai dari fitnah terorisme yang selalu diarahkan ke Islam dan umatnya, ataupun cap fundamentalis, radikal, sektarian, tidak toleran dan sebagainya. Meskipun fakta dan kenyataan berbicara lain, sejarah telah membuktikan bahwa selama umat Islam mayoritas maka umat non muslim akan aman, dan ini tidak berlaku sebaliknya.

Mereka yang tidak memiliki atau kehilangan jati diri, hakekatnya mengalami pende- ritaan tersendiri dalam hidupnya, karena bukan dia yang menentukan keadaan, tetapi dia yang ditentukan oleh keadaan. dirinya terwarnai oleh lingkungan bukan dia yang mewarnai lingkungannya. Sehingga hidupnya terombang ambing tanpa arah yang jelas, sehingga menjadi manusia bunglon yang tidak mempunyai arti apa apa.  Pertaru- ngan tanpa kekerasan ini bisa berakibat fatal dibanding terbunuh sekalipun. Karena orang-orang yang kalah dalam pertarungan jatidiri, bisa lebih dahulu mati sebelum benar-benar mati, ia menjadi mayat-mayat yang berjalan, jalan hidupnya tidak lagi memiliki prinsip, sekalipun punya dia tidak akan berdiri kokoh karena tidak ditopang oleh  kepribadian yang kuat. 

Bagian terhebat dari pertarungan jatidiri ini adalah orang tidak merasa kalah ketika sebenarnya ia sudah mati, mati keberanian, mati kepekaan, mati spiritual, mati kebijak- sanaan, & akhirnya mati identitas dan jati diri. Karena tidak heran jika kura-kura begitu gigih mempertahankan rumah yang membebaninya sepanjang hidup. Walaupun karena itu, ia tampak lamban. Walaupun ia diserang ejekan. Kura-kura punya satu prinsip yang terus ia perjuangkan inilah aku ..........

                                   
Saksikanlah bahwa saya seorang Muslim !!!        


posted by Adimin
Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment