Kontrak dan Komitmen Kemenangan


Sebenarnya saya sudah lama ingin menulis tentang wacana perubahan isi kontrak koalisi. Ternyata benar saja, jum’at (4/3-2011) lalu Hatta Rajasa mewacanakan hal ini.



Pasalnya bila kita membedah kontrak koalisi secara ilmiah, kita akan dapati bahwa kontrak ini tetap menjamin hak dari setiap partai politik untuk dapat bersikap kritis terhadap pemerintah, bahkan juga mendorong untuk saling melakukan fungsi checks and balances.


Lebih dalam mengenai hal ini, silahkan baca tulisan saya yang berjudul “Komitmen Kontrak Koalisi” di blog pribadi saya, aajaka.wordpress. com. Boleh jadi hal inilah yang kemudian memicu wacana perubahan kontrak koalisi. 

Yang menjadi pertanyaan untuk saat ini adalah, pantaskah partai peserta koalisi tersebut merubah isi kontrak koalisi? Adakah hubungan antara kontrak koalisi dengan tanggung jawab terhadap rakyat, khususnya para pemilih SBY-Boediono? Untuk menjawab hal tersebut, mari kita telusuri dulu sejarah kontrak koalisi ini.


Sejarah Koalisi

Jauh-jauh hari sebelum koalisi dibentuk, SBY sempat mendatangi Hilmi Aminudin, Ketua Majelis Syura Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk meminta dukungan beliau agar PKS kembali mengusung SBY dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2009-2014. Lobi-lobi terus terjadi. Berbagai hal pun menjadi pertimbangan, termasuk evaluasi atas koalisi yang terjadi pada tahun 2004-2009. Salah satu hal yang sempat diungkapkan oleh PKS adalah, PKS tak ingin hanya sekedar menjadi bemper dari koalisi. PKS ingin dengan bergabungnya PKS di dalam koalisi, PKS mendapat andil dalam pengambilan keputusan-keputusan strategis, baik di eksekutif maupun legislatif.


Akhirnya PKS mengajukan piagam koalisi yang kemudian disepakati oleh kedua belah pihak dengan pembubuhan tanda tangan pada kontrak tersebut di Jakarta pada 9 Mei 2009. Partai Demokrat diwakili oleh Hadi Utomo selaku Ketua Umum dan Marzuki Alie selaku Sekretaris Jenderal, dan Partai Keadilan Sejahtera diwakili oleh Tifatul Sembiring selaku Presiden dan Anis Matta selaku Sekretaris Jenderal. Piagam ini adalah piagam pertama yang kemudian menjadi acuan paling dasar dalam perjalan koalisi, khususnya untuk Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera. Di dalamnya juga disepakati bahwa partai-partai lain yang ingin bergabung dalam koalisi juga harus terikat pada piagam ini.


Kondisi 2009

Saat Pilpres, SBY dicalonkan sebagai presiden yang berada dalam posisi terikat dengan agenda dan komitmen yang disepakati dalam kontrak koalisi. Yang terlibat dalam kontrak itu adalah Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Dengan serangkaian komitmen, kampanye, sosialisasi, rasionalisai, dan arahan kepada para kader, simpatisan, dan pendukung masing-masing partai, pasangan ini kemudian menang.


Di sisi lain ada PDI Perjuangan dan Partai Gerindra yang mengusung pasangan Mega-Prabowo dengan kesepakatan, agenda, dan komitmen yang ada diantara mereka. Dan satu sisi lagi adalah Partai Golkar dan Partai Hanura yang mengusunng JK-Wiranto, yang juga dengan kesepakatan, agenda, dan komitmen tersendiri lagi. Jadi bila kita berbicara dalam konteks ini, sebenarnya ada tiga sisi.


Dalam perjalanannya, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto bersepakat untuk berkoalisi bila pemilu dilangsungkan dalam dua putaran, untuk melawan paket SBY-Boediono. Apalagi bila kita mengingat fenomena kampanye yang terjadi saat itu. Tim Mega-Prabowo dan Tim JK-Wiranto seolah bersatu menyerang Tim SBY-Boediono. JK-Wiranto dengan slogan “lebih cepat, lebih baik”-nya di tengah opini bahwa SBY adalah pemimpin yang lamban dan tidak tegas. Dan Mega-Prabowo dengan slogan “Pro Rakyat”-nya di tengah opini neoliberalisme Boediono. Bahkan untuk memperkuat citra ini, Mega-Prabowo melakukan deklarasi pencalonan mereka di TPA Bantar Gebang.


Logika Koalisi

Jadi bila kita berbicara dalam konteks yang lebih makro, dapat disebut hanya ada dua kubu, kubu yang pertama adalah koalisi SBY-Boediono (PD, PKS, PAN, PPP, dan PKB) dan kubu yang kedua adalah Mega-Parbowo (PDIP dan Gerindra) bersama JK-Wiranto (Golkar dan Hanura). Kedua kubu tersebut bersebrangan sangat jauh, bahkan juga ketika bila dilihat dari isu, agenda, dan komitmen yang mereka tawarkan saat kampanye.


Mengingat ini semua, tentu logika SBY yang mengajak PDIP dan Gerindra untuk tergabung dalam koalisi, tidak masuk akal. Sebenarnya sama juga tidak masuk akalnya dengan masuknya Golkar ke dalam koalisi. Bahkan juga bila kita berbicara soal konsistensi komitmen saat kampanye, tak mungkin SBY berkoalisi dengan Golkar, apalagi dengan PDIP dan Gerindra yang jauh bersebrangan. Sayangnya begitu banyak yang mudah lupa dengan akar sejarah koalisi ini.


Jadi pantas rasanya bila kita pertanyakan kembali komitmen yang ditawarkan saat kampanye. Apalagi bila kita telusuri, yang menang dalam pilpres 2009 bukan sekedar SBY-Boediono, tapi sepaket koalisi yang dulu ditawarkan kepada rakyat. Ada komitmen, agenda, dan semuanya. Bila kemudian kontrak koalisi pun diubah, jelaslah sudah pengkhianatan SBY-Boediono terhadap amanah kemenangan 2009.




Share on Google Plus

About Sjam Deddy

    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment